Menara Kubah Emas merupakan sebuah perpustakaan besar yang berada di tanah Aceh dan terletak di tengah kota yang memiliki akses masuk dari berbagai penjuru.
Di tempat ini tersimpan semua arsip dan literasi tanah Aceh dari turun-temurun, untuk menjaganya diperkerjakan anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki tempat tinggal sekaligus sebagai tempat belajar bagi mereka. Sebagai tempat yang penting, ditunjuk seorang pemimpin perpustakaan oleh ketua suku dan yang menjabat saat itu adalah Syekh Sayuti Malik.
Syekh Sayuti Malik merupakan orang yang sangat dihormati karena pengetahuannya yang luas dan telah mengelilingi dunia hingga negeri Sabda, meskipun ada satu yang tidak dipercayai orang mengenai dirinya bahwa beliau percaya tentang keberadaan negeri antah berantah bernama Galuh. Sebab itu, beliau pun tidak akan membicarakan negeri itu di tengah tatanan tanah Aceh yang baru sebagai tanah bagian negeri Tirta.
Banyak anak umur di bawah lima belas tahun yang tinggal di menara Kubah Emas dan terdapat dua remaja berumur di atasnya, mereka adalah Rakeyan Sandanu dan Cut Mutia. Kedua anak inilah yang paling Syekh Sayuti percayai untuk pengawasan teman-temannya.
“Kah (kamu), tahu buku apa ini?” Sandanu memegang buku berlapis emas di sampulnya dengan gambar sebuah pulau yang besar. Buku yang sebelumnya ditemukan anak berumur tujuh tahunan dan diserahkan padanya.
Siang itu tidak banyak pengunjung yang datang ke menara Kubah Emas, mereka berdua berdiri di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi sampai langit-langit yang tingginya lima ruas batang bambu. Keadaan sangat lenggang dan terlihat rapi, tanpa ada buku yang terletak miring atau saling tindih. Semua buku berdiri berjajar rapi.
Mutia mengambil buku itu dari tangan Sandanu. “Mungkin ini buku rahasia, lebih baik tanyoë (kita) berikan pada guru,” ujar Mutia.
“Jangan dulu, kèë (aku) ingin melihatnya.” Sandanu merebut kembali buku di tangan Mutia dan dia mulai membukanya.
Sebuah keajaiban terjadi saat buku itu terbuka. Cahaya terang keluar dari buku tersebut yang membuat mereka berdua tidak bisa melihat karena saking silaunya cahaya yang menerpa.
Seketika cahaya itu padam, mereka berdua berada di dimensi lain yang membawa mereka ke negeri antah berantah. Ketakjuban pun memukau mata mereka berdua yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Langit seolah terbuka sehingga ribuan bintang dan planet terlihat menakjubkan. Tidak bisa diketahui apa itu siang atau malam karena dunia yang mereka datangi sangat bercahaya indah yang membuat mata tidak bisa mengartikan keindahannya.
“Di mana tanyoë ini?” tanya Sandanu.
Tiba-tiba ada seseorang yang meraih buku dari tangan Sandanu dan menutupnya. Seketika itu, bayangan mengenai negeri itu pun menghilang sebelum mereka berdua beranjak untuk melihat keindahan lainnya. Sandanu dan Mutia pun tercengang menyadari perubahan ruang dan waktu dengan berdirinya guru di hadapan mereka.
“Ini adalah kitab pusaka yang tidak boleh ada orang yang mengetahuinya karena tidak diketahui siapa pembuat buku ini.” Dengan tegasnya, Syekh Sayuti berdiri di depan muridnya yang telah lancang. “Dan jangan membuka buku ini di sembarang tempat.”
“Maafkan kamoë (kami), guru.” Sandanu dan Mutia menyesal.
Syekh Sayuti yang berwibawa memaafkan kedua muridnya dan karena terlanjur mereka mengetahuinya, beliau pun memberitahukan hal yang sangat diimpikannya mengenai negeri Galuh.
Umur beliau sudah mendekati senja tapi jiwanya masih muda meskipun kerutan di wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa lelah dalam perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. Mungkin sudah saatnya ada orang yang bisa diharapkan untuk meneruskan impiannya untuk menemukan negeri antah berantah itu.
“Hahahaha… tidak apa-apa.” Syekh Sayuti menepuk bahu dua muridnya. “Karena awak kah (kalian) telah membuka kitab pusaka ini tanpa sepengetahuan kèë, maka awak kah harus berjanji untuk kèë.”
“Baik guru, kamoë akan melakukan apa pun yang guru katakan,” balas Sandanu.