GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #4

S1. Aliran Sastra

Mendengar riwayat hidup sahabatnya dari muridnya langsung membuat Datuak Marunggul sedih berurai air mata. Suratan takdir telah bercerita, mau bagaimana lagi semua sudah terjadi? Kini hanya tinggal kenangan mulai mendayung memenuhi bayangan Datuak Marunggul mengenai sahabatnya.

Sejak pertama bertemu pada masa terjadinya awal revolusi negeri Tirta, sebagai orang yang berbeda tanah negeri, Datuak Marunggul menyerang Syekh Sayuti. Pertarungan itu terjadi sehari semalam namun tidak juga ada yang kalah. Mereka sama-sama memiliki kekuatan penyembuhan yang membuat tetap bugar setiap kali dapat serangan dan akhirnya sepakat bahwa mereka akan berhenti bertarung.

Dari kejadian itu, mereka bersama berkelana untuk mencari keadilan di dunia. Sangat takjub sampai tertawa terpingkal-pingkal, Datuak Marunggul tidak percaya bahwa teman barunya berkelana mencari negeri antah berantah yang sudah dia dengar sejak kecil sebagai dongeng sebelum tidur.

Kini pun terulang di umurnya yang senja. Bertemu dua anak muda yang sama gila dan ternyata murid dari sahabatnya untuk mencari negeri Galuh.

“Hahaa…” Datuak Marunggul tertawa mengingat banyak keseruan saat bersama Syekh Sayuti. “Ternyato dia mangkat lebih dulu, tapi perjuangannyo tak berakhir, sedangkan ambo...” Beliau kembali bersedih.

Beberapa kali Datuak Marunggul tertawa kemudian bersedih lagi, membuat dua anak muda di depannya yang mengenang dalam kesedihan menjadi terheran. Kakek tua di depannya cepat sekali mengubah ekspresi wajah tanpa jeda dengan datarnya.

“Kakek, baik-baik saja kan?” tanya Sandanu.

Datuak Marunggul terdiam dari sedu sedannya. Kemudian tertawa lagi, hahaha…. Dan bersedih lagi. huhuhu….

Sandanu dan Mutia pun hanya bisa terpengkur menunggu orang tua di depannya bisa menyadari keadaan mereka yang sesungguhnya mulai bosan memperhatikan dirinya. Kebosanan itu menghilangkan rasa sedih dalam bayang kenangan gurunya sampai mereka tertidur hingga tidak menyadari mega mendung mulai menggurat di ufuk barat.

Sebuah guyuran air pun membangunkan mereka. “Nak bangun, ayolah bantu kakek menyirami tanaman.” Datuak Marunggul sudah lebih baik dari sebelumnya.

Kedua anak itu bangun dengan kebingungan sambil mengucek matanya perlahan. Terpaksa mereka pun mengikuti perintahnya. “Baik Kek.”

***

Keceriaan tercipta di wajah mereka yang kehilangan lelahnya. Ini pertama kalinya mereka bermain air dengan tumbuhan, biasanya dulu bermain dengan lembaran buku saat berada di menara Kubah Emas.

Mereka menyirami tanaman, sedangkan Datuak Marunggul menyiapkan air dari sumber air di kolam. Jika air di dalam tempat penyiram habis, mereka kembali mendekati Datuak Marunggul yang mencidukkan air dengan santai.

“Batu apa yang kakek kendalikan?” tanya Sandanu saat mereka minum teh setelah selesai menyiram tanaman.

Mereka duduk di batang pohon yang masih berakar dan begitu besarnya pohon itu, bisa memuat tiga orang duduk di atas batangnya yang telah terpotong datar. Ramuan teh yang masih hangat pun menemani suasana santai dengan cahaya meredup yang indah penuh guratan mega mendung di langit senja. Burung-burung bernyanyi damai dan binatang melata, merayap santai seperti kadal dan bunglon.

“Ini batu mustika akar,” Datuak Marunggul memperlihatkan batu akiknya. “Dan inilah yang akan ambo berikan pada kalian.”

Datuak Marunggul mengucapkan mantra. “Batu mustika akar bersinar, ramuan kesehatan.” Seketika sinar terang kehijauan datang dari batu akik yang Datuak Marunggul kendalikan dan dari ujung jari yang terselip cincin batunya, muncul tetes air yang dicelupkan pada dua cangkir milik tamunya.

“Minumlah, ramuan ini akan menyehatkan kalian dalam perjalanan!”

“Terima kasih Kakek!” Sandanu dan Mutia langsung meminumnya.

Lihat selengkapnya