Di tengah jalan besar tanah Minangkabau terjadi kerusuhan. Meskipun sebagian penduduk menghadiri sayembara di keraton Pagaruyung, kota tetap hidup dengan aktivitasnya mengenai perdagangan, pagelaran seni musik, dan teater ataupun menghabiskan waktu dengan menikmati damainya tanah Minangkabau yang sayang kali ini terganggu oleh anak muda yang membuat ulah.
Anak laki-laki mengendarai kerbau dan memacunya untuk berlari cepat dan di belakangnya anak perempuan yang merangkul tubuhnya karena takut terjatuh. Karena ulahnya itu, aktivitas di jalan besar terganggu ketertibannya.
“Maaf, aku harus cepat sampai keraton Pagaruyung untuk mengikuti sayembara….” teriak Sandanu pada semua orang yang sudah terganggu oleh aksinya.
Mutia pun menyeringai dengan aksi Sandanu. Mengingat, kerbau ini didapatkan dengan cara paksa dari pemilik dengan dalih untuk menyewanya dan menyuruh pemiliknya mencari sendiri di keraton Pagaruyung. Hal ini mereka lakukan karena mereka bangun kesiangan di sebuah penginapan.
Dengan nafas yang terengah-engah, akhirnya Sandanu sampai di keraton Pagaruyung. Dia turun terlebih dulu dari atas kerbau dan membantu Mutia turun. Mereka sangat semangat meskipun perjalanannya sangat membahayakan.
Ketika memasuki arena pertandingan, mereka terbelalak. Ini pertama kalinya melihat adu tanding para jewel sebagai ajang peningkatan bakat, bukan untuk bertarung dan saling membunuh.
“Waw keren!” ucap Sandanu kagum melihat megahnya pertandingan yang dilihat ribuan penonton.
Di tengah arena yang tersiram cahaya senja matahari, masih berdiri Kiliran Jao yang tidak pernah tumbang oleh lawan-lawannya. Terlihat pemuda berambut coklat yang berasal dari tanah Nias memasuki arena yang disebutkan sebagai peserta terakhir.
“Batu sigori lafau bersinar.” Saat anak laki-laki itu mengucapkan mantra, cahaya terang keluar dari bandul kalungnya. “CAHAYA MENYILAUKAN….”
Pandangan Kiliran Jao seolah hilang dan arena penuh cahaya hingga penonton tidak mampu melihat apa yang terjadi. Ketua suku pun terperanjat dari duduknya, beliau khawatir bahwa Kiliran Jao akan kalah kali ini.
“Batu sungai dareh bersinar….” Cahaya kehijauan muncul menembus langit ditengah cahaya silau. “AIR TERJUN!” teriak Kiliran Jao. Dari langit jatuh air dan menciptakan pelangi-pelangi yang meleburkan cahaya hingga hilang.
Benar-benar pertandingan yang memukau. Penonton pun bersorak penuh tepuk tangan. Kiliran Jao masih belum terkalahkan. Sandanu yang menyaksikan hal itu melongo dan dirinya tidak terdaftar karena peserta terakhir sedang bertanding. “Kita terlambat.”
“Wah indah…” Mutia kagum melihat cahaya pelangi bertaburan di udara seperti kunang-kunang yang kemudian padam.
Karena kekuatannya, Kiliran Jao pun basah sendiri. Penonton juga. Dia membuka ikat kepalanya dan rambut hijau muda mengibaskan air dari sela-sela rambut. Para gadis pun terpukau dengan gaya kerennya.
“Tampan sekali…” Mutia memuji.
Di tengah arena, pemuda dari tanah Nias masih berdiri dan kali ini Kiliran Jao yang menyerangnya. “Batu sungai dareh bersinar, pusaran air….”
Serangan pusaran air tercipta dari bawah tanah dan naik membesar membuat pemuda Nias kewalahan untuk menghindari. Tapi, dia masih bisa mengeluarkan kekuatannya. “Batu sigori lafau bersinar… FAHOMBE….”
Untuk menghindari serangan, pemuda tanah Nias mengeluarkan batu penghalang besar untuk menyumbat serangan air dan memantulkan serangan pusaran air milik Kiliran Jao. Hingga akhirnya, Kiliran Jao mengeluarkan syairnya saat pemuda Nias menyerang dengan fahombe. Mengenai fahombe, merupakan tumpukan batu berbentuk trapesium yang menjulang tinggi.
Sambil meloncat tinggi melewati fahombe-fahombe yang tercipta, cahaya batu sungai dareh bersinar terang. “Dari kejernihan mata air sungai dareh, ARUS MEMATIKAN….”