GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #9

S1. Tanah Lampung

Awan putih yang melayang di langit tersapu oleh angin yang bertiup hingga menyibakkan mentari yang bersembunyi di baliknya. Cahayanya yang terang pagi itu menyirami alam dan sebuah taman yang penuh bunga warna-warni yang bermekaran. Lebah-lebah madu hilir mudik dari bunga ke bunga untuk mengumpulkan madu dari sarinya.

Pohon bunga-bunga yang indah itu mengitari sebuah kolam berisi ikan-ikan yang berenang di bawah daun teratai yang melebar di permukaan air. Di atas daun teratai berdiri seekor katak air, lalu katak itu meloncat untuk menyeberang. Di sisi kolam, ada bunglon yang berwarna kecoklatan karena bersembunyi di permukaan tanah. Saat melata ke sebuah batang pohon, warnanya berubah jadi hijau. Di pohon itu ada kepompong yang siap membelah dan keluar seekor kupu-kupu yang baru melihat dunia.

Dunia dengan alamnya menyambut kupu-kupu itu dan mengajaknya dengan keinginan kupu-kupu untuk melihat indahnya alam semesta. Secara perlahan, kupu-kupu itu membuka sayapnya yang basah dan mengepakkan sayapnya. Ia pun terbang dan melihat bunga-bunga bermekaran, juga merasakan hangatnya sinar matahari yang memeluknya dengan kasih sayang. Karena kupu-kupu itu tidak mengenal tempatnya, ia terbang untuk melihat sekeliling hingga membawanya mendekati sebuah jendela.

Sebuah jendela yang terbuka. Jendela yang terbuat dari kayu dan daunnya yang berhias kaca menyingkap. Saat melihat di dalam ruang yang tersembunyi di balik jendela, kupu-kupu itu berhenti. Ia mengamati seseorang yang terdiam duduk di tepi tempat tidurnya. Seorang putri yang cantik jelita dengan rambut emasnya yang bergelombang indah, menyisakan poni di depan wajah membuatnya terlihat manis karena ujung rambut emas itu hampir menutupi matanya yang memandang jauh ke awang-awang.

Kupu-kupu tidak tahu yang dialami oleh sang putri. Merasa tidak ingin mengganggu, kupu-kupu pun pergi. Meskipun kupu-kupu pergi, putri di dalam ruang di balik jendela masih terdiam. Hatinya berselimut kerinduan yang mendalam dan seolah ada penyesalan yang membuatnya merasa bersalah.

Hatinya bergumam, “kenapa kebahagiaan pun disalahkan?”

Dialah seorang putri yang mengurung diri. Sudah tiga tahun lamanya, dia tidak pernah meninggalkan paviliun tempatnya bersembunyi untuk menghindari sang kehidupan yang menurutnya penuh keegoisan. Tidak ada seseorang pun yang bisa memahami dirinya mengenai rasanya kehilangan dan mereka membiarkan sang putri tetap mengurung diri.

Paginya mulai bosan dan dia hilangkan kebosanan dengan membaca buku pengetahuan. Di saat waktu tertentu, akan ada yang datang. Mereka para pelayan yang menyiapkan makanannya dan mereka akan tetap menunggu sang putri di balik pintu kamarnya.

Tidak ada yang berani masuk tanpa panggilan dan waktu yang ditentukan hingga matahari mulai meredup di bagian barat. Dan sudah saatnya, putri keluar untuk membersihkan diri karena keringat membuat tubuhnya tidak enak dan kurang nyaman untuk menikmati tidur malam.

Maka pelayan pun menyiapkan keperluannya di kolam pemandian, mereka akan membiarkan putri berendam sepuasnya. Mereka sendiri akan menjaganya dari luar, sebab sang putri ingin menghindar dari wajah kehidupan dan mengurung dirinya yang bersalah. Mungkin itulah hukuman bagi dirinya yang mesti menghukum diri karena kesalahannya membuat dirinya kehilangan.

Dalam kolam pemandian yang begitu luas, dia bisa melihat langit mulai berwarna jingga dan burung-burung beterbangan di angkasa. Betapa bebasnya mereka bisa pergi ke mana pun yang diinginkan. Sang putri, ingin seperti burung-burung yang dilihatnya terbang.

Saat dirinya asik membayangkan kebebasan, tiba-tiba jatuh dari atas, sesuatu yang masuk dalam kolam pemandiannya. Mereka dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang datang mengganggu kehidupannya.

Ahhh…

Putri berteriak hingga mereka yang datang tiba-tiba ketakutan saat beberapa pengawal paviliun datang. Tapi, mereka yang melihat tuan putrinya sedang mandi langsung keluar kembali.

“Bodoh, kalian masuk tanpa aku suruh.” Tuan putri memarahi mereka.

Laki-laki berambut benhur tertawa melihat gadis payah yang mau ditolong tapi mengusir penolongnya. “Hai putri yang cantik, kami ke sini untuk menculik kamu. Tidakkah kamu takut?”

Putri itu memalingkan wajahnya. “Keluar kamu dari sini dan di depan pintu mereka akan menangkapmu!”

Anak laki-laki satu lagi sudah keluar kolam. Dia membuka bajunya dan memeras bajunya yang basah. Tubuhnya yang putih bersinar terkena cahaya senja. Begitu indah dan gagah anak itu.

“Maaf, aku tidak bermaksud…!” Pemuda itu tersenyum hingga mata sipitnya terpejam. Tangan kanannya menggaruk rambutnya yang berwarna kecoklatan dan sangat lebat hingga telinganya tidak terlihat sebagian atasnya.

Dengan keadaan anak gadis yang jatuh dari langit, dia menutup mukanya karena merasa malu. “Kamu itu cepat pakai bajumu…” Mutia mencipratkan air ke anak itu.

Putri masih memalingkan wajahnya dan tidak sudi melihat mereka. Sandanu dan Mutia mulai keluar dari kolam. Dari sisi penasarannya, putri melirik mereka yang terlihat sebaya dengan dirinya. Ada yang menarik dengan mereka.

“Kenapa mereka jatuh dari langit?” Suara putri tidak terdengar oleh siapa pun, sementara sang putri memikirkan mereka yang jatuh dari langit dan kemungkinan akan menculiknya, ternyata mereka malah bertengkar.

“Semua ini salahmu,” Sandanu menunjuk anak berambut kecoklatan. “Kalau saja kamu tidak muncul tiba-tiba dari depan, Malin tidak akan jatuh,” bentak Sandanu.

Lihat selengkapnya