Tidak ada kesenangan dari kata-tersesat, dan setiap orang ingin menghindar dari jalan yang menyesatkan. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki arah tujuan, berkelana menyusuri jalan tanpa tahu di mana dirinya berada? Mungkin itulah yang akan disebut memberikan pengalaman.
Bukan, bukan pengalaman yang ingin didapatkan. Tapi keberuntungan yang pastinya ingin dinikmati menjadi sebuah proses menuju pribadi yang dicari. Lagi pula bukan hal yang penting tentang sebuah kepastian, sebab hidup penuh dengan hal yang tidak terduga.
Galigo pun merasakan yang demikian. Dari kejadian yang awalnya membawa dalam masalah, malah menjadi berkah dan mendapatkan tempat di sisi yang sepertinya menguntungkan. Kecuali bertemu dengan anak songong seperti Sandanu yang duduk di depannya. Mereka bersama Mutia mendapatkan sajian makan malam bersama ketua suku tanah Lampung.
“Ini benar-benar lezat, aku baru makan masakan ikan seperti ini dan kerupuk kemplang,” Sandanu lahap sekali.
“Itu namanya seruit, ikan bakar dengan sambal terasi dan tempoyak yang berasal dari fermentasi durian.” Ketua suku berbaik hati menjelaskannya.
“Terima kasih, ini suatu kehormatan bagi kami bisa makan malam dengan ketua suku,” kata Mutia.
Ketua suku tersenyum. Dan dengan berbaik hati, beliau memaafkan tiga anak muda yang tanpa sengaja menerobos dalam keraton. Berharap mereka bisa membantu putrinya yang mengurung diri agar bisa kembali ke jalan kehidupan yang sesungguhnya. Layaknya sebagai mahluk sosial yang berkumpul dan membutuhkan orang lain.
Selama makan malam Galigo tetap terdiam. Diperhatikannya sekeliling ruang makan. Di depannya adalah sebuah meja panjang berbentuk oval. Di ujung sisi lengkungan duduk ketua suku, sebelah kanan ada mutia dan sisi kirinya Sandanu dan dirinya sendiri.
Ruang makan terlihat lebih luas. Sebenarnya bukan hanya ada satu meja makan melainkan lebih dari lima buah dan di antara ruangan itu terdapat pilar-pilar kayu sebagai penyangga ruangan yang atapnya terlihat sangat tinggi. Banyak perabot guci-guci dari gerabah dan tanaman-tanaman sebagai penyegar udara.
“Sekarang kalian istirahat dan besok pagi bisa kalian coba untuk membujuk putriku!” kata ketua suku setelah usai makan malam.
“Ya, aku pasti bisa membujuk putri ketua suku untuk keluar dari paviliunnya,” Sandanu yakin bahwa itu adalah tugas yang mudah.
Setelah makan malam, pelayan mengantarkan mereka ke tempat istirahat. Mutia mendapatkan ruang sendiri dan diantar oleh pelayan wanita, sedangkan Sandanu dan Galigo akan tinggal satu kamar malam itu.
Seorang pelayan pria mengantarkan mereka berdua. Dalam perjalanan yang diterangi sinar dari dian-dian yang menyala sepanjang teras membuat Sandanu memandang Galigo dengan kecurigaannya. Sejak tadi, anak itu tidak bicara dan kadang tersenyum misterius. Atau mungkin, dia memang orang jahat yang akan mencuri.
Sesampainya di kamar istirahat, Sandanu langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ada dua ranjang di ruangan itu dan sebuah dian kecil menyala di atas meja sebagai penerang. Tidak begitu luas ruangan yang mereka tinggali, ada lemari kecil di pojok ruangan yang berseberangan dengan pintu. Dinding berwarna kuning dan terdapat motif yang hampir sama dengan banyak bangunan dalam keraton, lengkungan daun muda tumbuhan paku.
Sandanu yang menaruh rasa penasaran dengan anak yang masih duduk di atas ranjangnya, tanpa ada yang dilakukan. Dia mulai bertanya, “Sebenarnya kamu siapa?”
“Maksudmu?” Galigo menjawab tanpa menoleh pada Sandanu.
Sandanu masih berbaring dan tangannya digunakan sebagai bantalan. “Aku sudah bertemu dengan banyak orang, tapi tidak dengan orang sepertimu. Kamu misterius.”
“Misterius?” Galigo tersenyum kecil. Kata itu membuat dirinya geli.
“Ya, seperti orang yang berniat jahat. Jika itu tidak salah sih.”
Galigo berdiri. “Itu benar.”
Sandanu mempertajam pandangannya. Anak itu berjalan dan keluar dari ruang istirahat. Sandanu mengangkat tubuhnya dan akan mengikuti Galigo pergi.