Tabib sedang memeriksa putri Way Gambas di paviliun Siger. Di dalam ruangan itu, Sandanu berdiri bersama beberapa pelayannya yang mengkhawatirkan keadaan tuan putrinya. Mereka tidak tahu mengenai kesehatan tuan putrinya ketika Sandanu bertanya apa yang sebenarnya terjadi hingga Way Gambas tidak bisa sadarkan diri? Para pelayan bahkan tidak tahu mengenai pengendalian batu akik sebab mereka tidak pernah melihat bahwa Way Gambas memiliki batu semacam itu.
Mutia yang mendengar kerusuhan pun keluar dari tempatnya istirahat. Dia mendapat kabar bahwa temannya membuat masalah. Menjadi sangat khawatir, Mutia pun mencari Sandanu ke ruang penjara yang ternyata hanya ada Galigo.
“Di mana Sandanu?” tanya Mutia.
Terlihat Galigo duduk di depan pintu yang terbuat dari kayu berlapis kuningan seperti bangunan yang lainnya di keraton Skalabrak. Galigo duduk sambil memeluk kakinya dan menekuk kepala hingga bertumpu pada lutut. “Dia tidak ada di sini.”
Mutia menghembuskan nafasnya. Entah lega karena tidak ada Sandanu atau memang kesal dengan kejadian yang terjadi malam ini. Malam waktu yang hampir mendekati sepertiga malam terakhir.
Meskipun tidak ada Sandanu di sana, Mutia masih bertahan di depan ruang penjara. “Sebenarnya apa yang terjadi?” Entah mengapa Mutia merasa khawatir pada Galigo.
Pemuda bermata sipit itu mencoba memalingkan kepala. Dalam hatinya bergumam: untuk apa gadis ini berdiri di sampingnya meskipun terhalang jeruji kayu.
“Semua ini kesalahanku.” Galigo merasa menyesal dengan kejadian malam itu. “Seharusnya aku tidak melakukannya.”
“Melakukan apa?” Mutia berjongkok di depan Galigo.
“Aku mencoba mencuri harta ketua suku tanah Lampung.”
“Hah, kenapa kamu melakukannya? Ketua suku sudah sangat baik kepada kita dan tidak memberikan hukuman berat karena menerobos keraton, meski itu juga tidak sengaja.”
“Kamu, kenapa kamu masih ada di sini? Bukankah temanmu tidak ada di sini?” Galigo duduk meluruskan kaki dan menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Mutia tersenyum. “Kamu mau menjadi temanku?” Dalam benaknya, Mutia menyukai penampilan Galigo yang keren. Apalagi mengingat kejadian di kolam pemandian putri Way Gambas. Mutia benar-benar terpesona dengan raut malunya hingga menyembunyikan perasannya.
Galigo terkekeh mendengarnya. “Kamu mau menjadi pencuri?”
“Bukan begitu, tapi kita bisa berpetualang bersama. Aku yakin, kamu sendiri tidak mempunyai tujuan. Mengenai pergi ke tanah Melayu hanya alasanmu saja kan?”
“Aku memang akan pergi ke tanah Melayu.”
“Untuk mencuri di perayaan itu.”
“Ya bisa jadi.”
Begitu cukup lama Mutia bercerita dengan Galigo dan dia bisa memahami jalan hidup Galigo yang tidak memiliki tujuan. Hanya dengan mencuri dan berharap bisa menolong orang yang lemah, padahal tindakannya itu salah. Meskipun Mutia belum tahu alasan sesungguhnya mengenai jalan hidup Galigo yang sepertinya ada hal lain yang tersembunyi. Seperti dirinya, yang memiliki rasa takut terpendam dalam hati.