GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #13

S1. Elemen Sastra

Menjadi seperti burung mungkin adalah sebuah kebebasan. Bisa terbang tinggi menembus awan, melewati batas negeri dengan lengang dan menyeberangi lautan tanpa perlu berpikir panjang karena di ujung cakrawala pasti ada daratan. Dan bukankah dunia ini bulat? Maka kehidupan pun akan kembali lagi pada dasarnya.

Setelah puas melihat bentangan alam dari langit yang luas tanpa batas, Way Gambas kembali turun menuju daratan. Kepakan sayap Sawerigading menutup saat kakinya menjajaki tanah. Galigo loncat terlebih dahulu dan dengan gagah, dia mengulurkan tangan untuk menopang tubuh tuan putri saat turun dari sang naga.

Way Gambas tersipu malu. “Terima kasih.”

Semua orang bertepuk tangan. Galigo memberi hormat sebagai tanda balasan. Lalu Sawerigading pun menghilang. Way Gambas sendiri menghadap pada ayahnya.

“Apak, nyak sangat bahagia maka siaplah nyak untuk mengikuti mereka pergi ke tanah Melayu.” Way Gambas pun duduk di samping ibunya.

“Baiklah, maka persiapkan dirimu.” Ketua suku menyetujui keinginan putrinya. “Tapi ketahuilah bahwa mereka adalah orang asing, maka hendak apak lihat kesanggupan mereka untuk menjagamu.”

Ketua suku harus mengetahui sehebat apa mereka dan sesetia apa mereka agar bisa menjaga dan melindungi putrinya. Memang ini adalah hukuman bagi mereka yang telah menerobos pada keratonnya dan ternyata pula putrinya bahagia bertemu dengan mereka. Mungkin inilah sebuah takdir.

Ketua suku berdiri dan semua orang hormat padanya. Saat matahari mulai menghimpit bayangan benda menuju titik teratas pada letaknya, ketua suku memberikan pengumuman.

“Wahai anak muda dari tanah asing, kalian kuberi tugas menjadi pengawal putriku tapi tidak akan daku izinkan tanpa kutahu sekuat apa diri kalian. Maka berkumpullah setelah makan siang, tunjukkan pada penghuni tanah Lampung kekuatan kalian dan di tempat ini pula kalian harus bertarung, untukmu Sandanu dan Galigo.”

Sandanu berserta Mutia dan Galigo memberi hormat. “Baik ketua suku yang berbaik hati telah menerima kami di tanah Lampung ini.”

Kemudian, semuanya bubar untuk istirahat dan makan siang. Saat matahari tergelincir menuju sebelah barat, mereka akan kembali untuk menyaksikan pertarungan Sandanu dan Galigo.

***

Burung elang terbang berputar di udara seakan mengabarkan bahwa di bawahnya ada sebuah perkumpulan penuh gembira. Angin semilir menggoyangkan daun-daun paku tiang yang tumbuh berjajar di keraton Skalabrak. Kumbang-kumbang pun berkumpul untuk sesuatu yang membahagiakan, bahkan kelinci-kelinci hilir mudik di taman, mereka sibuk untuk memperhias lingkungan keraton. Di antara bunga-bunga yang mekar, seperti melati, kenanga, kemuning hingga kaca piring memberikan taburan wanginya di seluruh halaman keraton.

Semuanya benar berkumpul pada tempat yang ditentukan ketua suku sebelumnya. Berbeda dari acara mengenai permintaan putri Way Gambas untuk bisa menikmati terbang bebas bagaikan burung alap-alap yang terkabulkan oleh pemuda dari negeri Dirga dengan naga miliknya dan hanya dihadiri oleh seisi keraton. Kali ini adalah pertandingan seorang jewel dan rakyat dari luar keraton diperbolehkan untuk menyaksikan pertandingan itu. Inilah yang selalu ditunggu-tunggu rakyat tanah Lampung agar bisa berkunjung ke keraton yang megah.

Biasanya pertandingan batu akik hanya diadakan saat penaikan pangkat jenderal-jenderal muda. Tapi kali ini beda, dua pemuda dari tanah lain akan berduel untuk menunjukkan kemampuannya. Karena mereka orang asing yang pertama kali akan dipercaya ketua suku untuk menjaga putrinya.

Bendera pun berkibar di empat penjuru lapangan. Ketua suku beserta keluarga keraton telah singgah di tempatnya. Penduduk tanah Lampung yang hadir, bisa berdiri melihat jalannya pertandingan kali ini.

Sandanu dengan mengenakan pakaian layaknya orang Lampung berdiri di sebelah kanan, sedangkan Galigo berdiri di sebelah kiri dengan pakaian yang sama. Dari singgah yang teratas, ketua suku berdiri dan memulai pertandingan mereka, dia meluncurkan cahaya batunya sebagai tanda permulaan.

Sandanu dan Galigo saling bertatapan dari jarak jauh. Sandanu mengingat kejadian malam sebelumnya, dia tidak bisa mengetahui serangan Galigo hingga tubuhnya terdorong. Mungkin karena waktu itu malam, sehingga dia tidak bisa melihat serangannya. Tapi sebagai kewaspadaan, Sandanu yang akan menyerangnya terlebih dulu.

“Batu mustika siliwangi bersinar,” teriak Sandanu membuat semua orang terpana melihat cahaya terang dari cincin batunya yang diangkat ke udara pada jari manis kanannya. Jari manis pun diarahkan pada Galigo. “CAKAR HARIMAU….”

Galigo terpaku saat melihat cahaya batu akik milik Sandanu, tapi ketika serangan itu dimulai Galigo semakin tidak bisa memfokuskannya. Tiba-tiba saja, baju yang dikenakannya compang-camping hingga tubuh putihnya yang kekar terlihat semua orang.

Orang-orang terheran melihat kejadian itu, kenapa pemuda dari negeri Dirga tidak menghindar dari serangan?

Lihat selengkapnya