GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #15

S1. Tanah Musi

Satu pekan kemudian, akhirnya mereka keluar dari hutan.

Di depan terlihat gerbang masuk menuju tanah Musi. Yang mereka sudah menyusuri sungai Musi sejak siang hari hingga akhirnya bisa menjejakkan kaki di tanah Musi yang penduduknya tinggal di pinggiran sungai Musi.

Mereka berempat harus diperiksa di depan gerbang dan setelah itu, mereka berjalan menuntun gajahnya memasuki kota Musi yang penduduknya membangun rumah berjajar menghadap sungai Musi yang lebar. Dan jalan besar menjadi satu jalar di pinggir sungai. Pinggiran sungai di bangun dinding batu supaya tanahnya tidak terhanyut aliran sungai saat meluap. Pinggirannya pun di tanami pohon-pohon ketapang kencana sebagai penjaga tanah dan peneduh para pejalan.

Jalanan di tanah Musi sangat rapi dan terbuat dari batu-batu kali yang disusun layaknya di tanah Minangkabau. Tapi untuk pergi ke tanah Melayu, mereka harus menyeberangi sungai Musi dan kota di sebelahnya.

Sore itu pun, mereka singgah di kedai makan. Seorang gadis pelayan datang melayani. “Selamat datang di kedai kami, di tanah Musi.” Pelayan itu tahu bahwa mereka datang dari luar tanah. “Menu makanan spesial kami ada pempek palembang.”

“Kami pesan empat porsi.” Sandanu mewakili.

“Ada yang kering dan berkuah,” kata pelayan menjelaskan. “Yang berkuah namanya laksan dan celimpungan.”

“Aku yang berkuah, boleh laksan atau celimpungan,” sahut Way Gambas.

“Aku juga yang berkuah,” tambah Mutia.

“Kalian berdua berarti yang kering.” Pelayan itu tersenyum pada Sandanu dan Galigo.

Lihat selengkapnya