Sebuah rumah penginapan memiliki halaman luas dengan kolam pemandian dan taman-taman dengan gazebo untuk bersantai dan acara makan-makan. Suasana cukup ramai di sore itu, keempat orang dari tanah Lampung pun menyantap makan malamnya bersama. Setelah itu, mereka pergi beristirahat dengan terpisah.
Semuanya terasa melelahkan. Sandanu masih membukakan matanya sambil rebahan di atas ranjang, sedangkan Galigo berendam di kolam. Kamar menginapnya cukup lega tapi hanya ada satu tempat tidur dengan ukuran luas dan bisa ditempati sekitar empat orang. Selain ranjang tidur, tidak ada banyak perabot lain kecuali lemari untuk meletakkan pakaian.
Saat yang tenang dengan pikirannya, tiba-tiba kamar sebelah terjadi kegaduhan. Sandanu terperanjat dan dia mendengar pertengkaran di sebelah. “Galigo, aku akan keluar,” teriak Sandanu untuk melihat yang terjadi.
Di luar begitu ramai, semua tamu dievakuasi dari tempat itu. Mutia dan Way Gambas pun terlihat di halaman yang luas meskipun mereka ada jauh di seberangnya dan di tengah halaman itu, orang yang dipastikan dari kamar sebelah bertarung dengan seorang perempuan. Mereka adalah jewel.
“Batu mustika hiu bersinar, hiu pemburu…” Pria tidak memakai baju dan hanya bercelana pendek menyerang dengan kekuatan batu akik yang terletak di jari manis sebelah kirinya.
Dia membuat medan pertempurannya berair dan mengurung perempuan yang menjadi lawannya dengan seekor ikan hiu pemburu. Perempuan itu mencoba menghindar tapi, sepertinya dia kesulitan untuk bernafas. Meskipun demikian, dia bisa mengendalikan batu akiknya. Saat itu, keadaan tempat penginapan mulai kosong, Mutia dan Way Gambas pun pergi ke tempat yang aman.
Perempuan itu menyilangkan tangan di dadanya, tapi jarinya menyentuh daun telinga. Ya, ada batu akik yang menjadi anting-anting. “Batu biduri bulan bersinar, jantra bianglala…”
Semua permukaan air berwarna pelangi dan air itu pun pecah, ikan hiu juga menghilang. Perempuan itu keluar dari serangan. “Batu biduri bulan bersinar, jantra bianglala…” Dari langit muncul cincin pelangi dan sinarnya mengurung pria bertelanjang dada itu.
Sandanu melihatnya, tidak mudah untuk menangkap pria tersebut, dia menghindar dari serangan dan melarikan diri. Orang itu berlari di atas atap rumah. Perempuan itu pun segera mengejarnya. Maka Sandanu merasa bahwa pria itu adalah pencuri di keraton yang membuat perjalanan menyeberangi sungai Musi ditutup karena dia ingat perempuan hitam manis itu. Oleh karenanya, Sandanu ikut mengejar.
Sandanu tidak peduli lagi dengan Galigo, anak itu terlihat berendam dalam kolam saat Sandanu meloncat di atasnya. Sepertinya Galigo yang menutupkan mata juga tidak mendengar semua kejadian waktu itu. Apa lagi, kolam pemandian terlihat sepi dan hanya ada dirinya.
Di depan, pria bertelanjang dada bertemu dengan wanita yang dipastikan adalah rekannya. Dan wanita tersebut pun dikejar oleh anak laki-laki, teman dari perempuan yang Sandanu temui di kedai sore tadi. Mereka berlari ke arah pinggiran sungai.
Mereka berdua yang mengejar berhenti di tepi sungai dan orang-orang menghindar dari kekacauan. Untuk mereka yang dikejar, mereka berdiri di atas air. Sandanu menyusul para pengejar.
“Apa mereka pencurinya?” tanya Sandanu.
“Kamu, kenapa bisa ada di sini?” Boe terkejut.