Bentuk bulan kembali ke asalnya, bulan sabit. Setelah pertarungan selesai, mereka menepi ke daratan dan Galigo melepaskan mantranya terhadap mereka bertiga. Isogi menyimpan bukunya sendiri dan Sandanu yang ingin mengetahui buku itu seolah tidak diizinkan.
“Ayo kita ke keraton sekarang!” ajak Isogi pada Boe.
Sandanu tidak menduga bahwa perempuan itu begitu licik. “Tunggu, kenapa kalian pergi begitu saja padahal kami ikut membantu?”
“Apa aku meminta pada kalian?” Isogi memasang wajah dinginnya.
Galigo kecewa mendengar ucapan perempuan itu, dia sudah salah menilai padanya saat matanya menatap pada dirinya tadi. “Ya, kamu memang tidak memintanya dan kami tidak mengharapkan kepedulianmu.”
“Galigo?” Mutia dan Way Gambas menatapnya. Anak itu seperti sangat kecewa dan Galigo terlihat pergi begitu saja.
Melihat yang terjadi, Sandanu marah. “Hai kulit hitam, jangan karena kamu lebih tua dari kami bisa seenaknya saja memanfaatkan kami, kami bisa saja merebut buku itu darimu.”
Mutia yang tidak ingin terjadi keributan lagi, mencegah Sandanu dengan memegang tangannya. Lagi pula pasukan keraton sudah datang, mereka menyambut Isogi dan memberikan kuda untuknya. Isogi dan Boe meninggalkan mereka begitu saja.
Sebenarnya Boe sendiri merasa bersalah, tapi rekannya yang terasa sebagai senior tidak menghendaki dirinya untuk melakukan hal bodoh. Karena itu, Boe hanya menoleh untuk memastikan, ternyata mereka benar-benar kecewa.
“Ka Isogi, kenapa kamu begitu kasar pada mereka?” tanya Boe.
Isogi mengendarai kudanya dengan pandangan ke depan. “Kita sudah sepakat dengan pihak keraton untuk mengambil bukunya karena itu hanya kita yang berhak untuk mengembalikannya.”
“Tapi, itu omong kosong karena mereka pun membantu.”