GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #19

S1. Tanah Kubu

Aktivitas yang terjadi di tanah Musi bisa dilihat oleh Sandanu dari jembatan Ampera.

Pada awalnya dia dan teman-temannya ingin menyeberangi sungai dengan sampan, tapi hal itu tidak terjadi karena kejadian semalam. Sebuah peristiwa yang mengesalkan, pertolongannya yang tidak dianggap oleh mereka yang menyebalkan. Andai saja Galigo tidak membiarkan perempuan itu pergi, Sandanu ingin berduel dengan perempuan berkulit hitam tersebut.

Mereka melanjutkan perjalanan setelah pertarungan di tepi sungai Musi. Dengan gajah-gajahnya, mereka menyusuri sungai Musi hingga menyeberangi jembatan Ampera. Di atas jembatan Ampera yang dibangun penuh warna merah darah dengan keraton Sriwijaya di pusat jembatan, ya keraton itu begitu indah dan mengagumkan penuh kilauan perak merah. Atap limasnya sangat mempesona dan di atas sana, singgasana ketua suku tanah Musi.

Selama itu, anak bermata sipit tidak bicara sepatah kata pun. Dia lebih sering berjalan di belakang yang lainnya. “Ada apa ya dengan Galigo?” bisik Sandanu pada Mutia dan Way Gambas.

Dua gadis cantik duduk di atas gajah yang berada di samping kanannya, mereka menggeleng kepala bersama. Sama sekali tidak ada jawaban. Sekali lagi Sandanu menoleh ke belakang, Galigo hanya menatap sungai Musi dengan pandangan kosong.

Jembatan Ampera yang panjangnya ribuan langkah kaki, akhirnya terlewati juga. Di seberang sungai, mereka mengambil jalan lurus hingga menjauhi aliran sungai Musi. Tatanan kota di sana sama saja dengan di seberang sungai sebelumnya. Rumah-rumah beratap limas yang megah dari kayu-kayu pohon yang kuat. Sebentar mereka singgah di kedai makan sore itu dan malam harinya beristirahat di rumah penginapan.

Lalu pagi hari perjalanan dilanjutkan hingga akhirnya keluar dari gerbang tanah Musi dan kembali melihat hutan yang lebat dengan pohon-pohon hijau yang menyejukkan. Tidak terasa bahwa hanya alam yang selalu memberikan sebuah ketenangan.

Perjalanan mereka terasa bungkam, terlebih karena Galigo menjadi pendiam. Tidak ada yang tahu mengenai perasaannya yang berkecamuk akibat bertemu seseorang yang entah bagaimana seolah mengingatkan Galigo pada orang lain di masa lalunya.

“Apa ini jalan yang benar menuju tanah Melayu?” tanya Mutia yang merasa bahwa dirinya tersesat. Mutia memang sudah sering tersesat karena mengikuti jejak Sandanu yang selalu buta arah. Dirinya sendiri juga sama, karena itulah perasaannya tidak pernah bohong.

Way Gambas khawatir sebab senja mulai terlihat. “Iya juga, tadi penjaga di tanah Musi mengatakan kalau menuju tanah Melayu tidak akan lama lagi dan kita tidak akan kemalaman untuk sampai di sebuah desa.”

“Kalau kemalaman, kita bisa mendirikan perkemahan.” Sandanu terkekeh, baginya tidak bermasalah karena perjalanan ini adalah petualangan yang menyenangkan.

“Bagaimana Galigo, apa kamu mencium udara kehidupan?” Mutia minta kepastian Galigo, sebelumnya anak bermata sipit itu juga menunjukkan arah tanah Musi dengan indra penciumannya yang tajam.

Galigo bisa mencium nafas kehidupan manusia. Jika bepergian, dia bisa mencari arah untuk menuju tanah peradaban meskipun di dalam hutan dan jaraknya jauh-jauh dari tempatnya berada. Tetap, udara manusia bisa Galigo cium kecuali pada saat dirinya di tengah lautan.

Dalam perjalanan kali ini, Galigo memang belum bicara kecuali saat memesan makanan di kedai waktu istirahat. Sekarang keadaan seakan membutuhkannya, ketiga temannya berhenti di depan Galigo.

“Akan aku coba.” Akhirnya Galigo bicara pada mereka.

Kemudian, Galigo memejamkan matanya dan menutup telinga. Seakan dia hanya mengaktifkan indra penciumannya. Dia mencari udara kehidupan manusia di antara udara-udara alam yang segar. Manusia bernafas menghasilkan karbon dioksida dan pohon mengubahnya menjadi oksigen kembali untuk manusia. Di tengah hutan yang seperti tak terjamah manusia, Galigo merasakan udara kehidupan manusia yang kuat.

“Di depan kita ada tanah kehidupan.” Galigo menunjukkannya. “Tidak jauh dari sini.”

Lihat selengkapnya