GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #21

S1. Gadis Kubu

Malam sebelumnya, Galigo berdiam diri menikmati kesunyian dengan ditemani gadis tanah Kubu. Bersamanya, dia mendayung rakit menuju tengah kolam yang dipenuhi cahaya kunang-kunang. Tidak ada satu orang pun yang melihat mereka berdua berada di tengah kolam.

Sepanjang malam, Galigo hanya duduk di atas jongko kecil yang diletakkan di atas rakit. Dia berdiam dan hanya sambil saling bersandar punggung, saling membelakangi dengan gadis tanah Kubu yang tidak dia ketahui namanya. Tidak ada yang mereka bicarakan, keduanya menikmati diam secara damai.

Suara bising dari lapangan membisu di antara mereka, udara beku tanpa ada nada. Cahaya kunang-kunang menghijau dalam nestapa. Semuanya begitu tenang hingga air tidak terdengar berriak. Angin pun terdiam mematung. Hingga fazar menjelang mereka berdua tidak menutupkan mata. Ada rasa damai dalam hati keduanya.

Bintang di langit bersembunyi di balik sinar yang kemudian semakin terang setelah kunang-kunang kembali bersemayam pada tempatnya, pulang. Di waktu itu, kebisuan mulai menghilang.

“Mmm… aku… tidak… pernah… “Suara terputus-putus keluar dari rongga mulut gadis tanah Kubu.

Galigo yang tidak bisa memahaminya, dia berdiri dan menghadap gadis itu yang sama-sama berdiri. “Kenapa?”

Gadis berkulit kecoklatan dengan rambut yang terlihat hitam keabu-abuan di depan Galigo, menundukkan kepalanya. Jarinya memutar sebuah batu cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan.

Gadis itu merasa takut, tidak pernah dirinya bersama anak laki-laki berduaan sepanjang malam. Entah mengapa, hatinya menjadi merasa tenang tapi kini berubah menjadi terasa tegang dan menyesakkan.

“Apa kau mau tinggal bersama kami di tanah Kubu?” tanya Gadis itu.

Galigo sama sekali tidak berniat untuk tinggal di tanah Kubu, berada di tempat ini adalah sebuah perjalanan yang tidak terduga. “Aku sama sekali tidak menginginkannya.” Lagi pula, untuk apa bagi Galigo tinggal bersama penduduk tanah Kubu yang tidak punya tempat menetap selamanya.

Selama ini Galigo berkelana mencari tempat baginya untuk bisa pulang, tapi tanah mana yang bisa disebut sebagai rumah. Kepahitan yang membuatnya pergi meniggalkan tanah yang melindungi pada masa kecil, tak berarti apa-apa lagi baginya. Semuanya adalah kenangan yang tidak ingin diingatnya.

Udara dingin di sekitar mereka mulai menghangat. Cahaya biru sedikit terlihat di langit dan daun-daun mulai tampak kehijauan meskipun masih gelap. Penduduk tanah Kubu masih berada di rumahnya yang tampak sepi dari kolam tempat mereka berada. Selintas, beberapa burung terbang dengan nyanyian yang menggema. Angin pun bertiup menggoyangkan dedaunan beserta dahannya.

Gadis tanah Kubu yang tingginya hanya sebahu Galigo mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku menyukaimu dan tidak ingin kau pergi dari tanah Kubu.”

Lihat selengkapnya