“Mengapa kamu berdiam untuk bertahan dan menyembunyikan semua itu?”
Mutia mendekati Galigo yang merasa malu karena perbuatan Sika telah menunjukkan sesuatu paling tersembunyi dalam dirinya. Mutia merasa iba terhadap kehidupan yang pastinya sangat berat untuk dihadapi seorang diri.
Galigo menjauhi semuanya. Sebenarnya, dia tidak ingin bicara dengan siapa-siapa. Tapi kenapa gadis berambut marun itu tidak mengerti sama sekali keadaannya?
Galigo mengingat saat Mutia menemuinya di penjara tanah Lampung, yang ingin menjadi temannya, ingin membelanya dan bisakah Mutia menghilangkan kabut yang tersembunyi dalam hati Galigo?
“Aku hanya terbiasa dengan semua ini,” kata Galigo.
Mutia menatap Galigo dengan tajam. “Tidak, kamu hanya takut tidak ada yang mempedulikannya, kamu terlalu takut hingga melarikan diri begitu saja.”
Takut? Melarikan diri?
Benarkan itu yang selama ini Galigo lakukan? Dia sama sekali tidak takut atau mencoba melarikan diri. “Cukup, kamu tidak mengenalku. Jadi, jangan bicara yang tidak kamu ketahui.”
“Ya aku tidak mengenalmu, tapi setidaknya kamu tahu bahwa aku ingin mengenalmu,” ucap Mutia dengan kecewa.
Mutia pun meninggalkan Galigo sambil menangis. Di belakangnya, Galigo sama sekali tidak bisa memahami perasaan Mutia yang ingin berada di dekatnya dan ingin menunjukkan arah agar Galigo bisa keluar dari kabut yang menyelimuti hatinya.
Galigo tersenyum sinis.
Peristiwa itu terjadi di tempat makan terbuka di bawah pohon keramat. Suasana yang sangat menyejukkan dengan harum bunga-bunga liar bermekaran hingga kupu-kupu hilir mudik mencium aromanya, yang warna biru, ungu, ataupun jingga.
Tepatnya, Galigo berada di sisi semak-semak yang menyepi tanpa ada orang yang lewat. Mutia yang mendekatinya pun pergi dengan perasaan tersakiti karena Galigo sama sekali tidak peduli pada dirinya.
Mutia menjauhi Galigo dan duduk di dekat Way Gambas. Di atas balok kayu yang dijadikan kursi tanpa sandaran. Di depannya ada meja papan kayu bulat yang lebih besar, dan kakinya terbuat dari tiga balok kayu yang sama dengan kursi.
“Kamu sudah bicara dengan Galigo?” tanya Way Gambas penasaran.
Mutia sudah menghapus air matanya sebelum duduk, meskipun matanya merah, “mungkin dia memang ingin sendirian dan terus berdiam diri.”
Way Gambas tersenyum mendengar nada suara Mutia yang sangat peduli pada Galigo. “Apa kamu menyukainya?”
Mutia kaget dan menatap Way Gambas. “Menyukai anak sepertinya, tidak mungkin.” Dalam hati merasa janggal. “Aku hanya kasihan.”
“Jangan begitu, nanti kamu bisa jatuh cinta lagi.” Way Gambas tertawa pelan.
Mutia sama sekali tidak ada arah ke perasaan itu, tapi mungkinkah itu bisa terjadi? “Kamu ini apa-apaan, sudahlah.”
Meskipun Way Gambas adalah putri dari tanah Lampung, tapi dia sudah terlihat sangat dekat dan akrab dengan Mutia. Sepanjang perjalanan Mutia sudah memberitahukannya banyak hal. Tanpa Mutia dan jika hanya berjalan dengan Galigo, Way Gambas yakin bahwa perjalanannya ke tanah Melayu akan sangat membosankan dengan dia yang pendiam dan hidupnya penuh kabut begitu tebal.
Tapi, bagaimana Galigo bisa bertahan?