Bara api sisa unggun semalam berbunyi tanpa ada cahaya api yang menari. Asapnya membumbung tinggi dan di atas lapisan udara tersapu oleh angin. Cahaya matahari telah menerangi seluruhnya hingga daun-daun terlihat hijau. Sekeliling menjadi penuh warna seperti keluar dari kegelapan, semua menunjukkan wujud aslinya. Pohon-pohon damar, keruing, semak-semak hingga rerumputan yang menutupi tanah.
Kelinci hutan berlarian dan ada juga kancil atau menjangan yang kadang mendekat di perkemahan. Yang berada di sana masih terlelap tidur seakan merasa nyaman dalam mimpi indahnya. Seekor tupai yang melompat di atas pohon, terpeleset dan jatuh di atas tenda perkemahan hingga penghuni di dalamnya terbangun.
Mutia mengangkat tubuhnya dan terduduk. Dengan malas dia merenggangkan tubuh, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sedangkan Way Gambas masih terbaring di sampingnya meskipun mata telah terbuka.
Bunyi kumbang-kumbang terdengar dari segala sisi alam. Mutia menyingkapkan tenda. “Matahari sudah sangat terang, kita kesiangan.”
Mutia langsung berdiri dan keluar. Dilihatnya, Sandanu masih tidur di atas batang kayu dekat unggun yang telah padam. Dia melihat sekeliling dan tidak ditemukannya tanda-tanda adanya Galigo.
Kemudian Way Gambas menghampirinya. “Kamu mencari siapa?” Way Gambas memperhatikan Mutia.
Mutia bolak-balik mencari sosok anak bertubuh tinggi dan berkulit putih, tapi dia sama sekali tidak terlihat. “Galigo, dia tidak ada.”
“Mungkin mencari makanan,” sahut Way Gambas.
Mutia tidak yakin. Segera dia membangunkan Sandanu yang dalam keadaan tidur ataupun bangun, rambut benhurnya selalu berantakan. Mutia menggoyangkan tubuhnya hingga anak itu menguap sambil berusaha duduk.
Sandanu mengucek matanya. “Memangnya sudah pagi apa, kamu membangunkanku?”
“Kita sudah kesiangan,” jawab Mutia. “Ke mana Galigo?”
“He! Galigo?”
“Iya Galigo.”
“Oh, mugkin anak itu sudah pergi.”
“Pergi bagaimana maksudmu?”
“Semalam aku menyuruhnya pergi, soalnya dia hanya merepotkanmu.”
Mutia tidak terima Sandanu mengusir Galigo begitu saja. Meskipun dirinya tahu bahwa Sandanu melakukan itu untuknya, Mutia tetap tidak setuju. Tapi semua sudah terjadi dan Mutia hanya bisa menerima hal itu.
Wajah Mutia menegang. Dengan menyesal dia duduk di batang kayu semalam, tempat Galigo duduk merenung panjang.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Sandanu.
“Ya, tapi aku tidak menyukai caramu.”
“Sudahlah, jika takdir mengatakan, kita pasti akan bertemu dengannya. Dia pasti pergi ke tanah Melayu dan kita juga akan pergi ke sana.” Sandanu menyengir.
Way Gambas tersenyum. Dia jelas tahu bahwa Mutia menyimpan perasaan suka pada anak negeri Dirga itu. Tapi dengan kepergiannya, apa perjalanan ini tidak akan berbahaya?
“Kalau Galigo pergi, berarti kamu harus menjaga kita berdua sekarang.” Way Gambas menatap Sandanu.
“Tenang, karena Galigo pergi kita bisa mempercepat perjalanan.” Sandanu menyengir lagi.
Sandanu mempunyai ide bagus. Dia sudah merindukan temannya yang pergi tanpa pamit. Mahluk astral yang berotak mesum, si kerbau dari tanah Minangkabau. Sandanu sama sekali belum pernah memanggilnya sejak perginya dia di atas paviliun Siger.
“Mutia kamu ingat apa yang dikatakan kerbau itu jika aku ingin memanggilnya?” Sandanu mencoba mengingat-ingatnya.
“Kerbau?” Way Gambas janggal.
“Ya, kerbau yang membawa kami terbang di atas keraton tanah Lampung.”