Karena sore masih terlihat terang, Mutia keluar dari rumah duta Lampung menuju pesisir pantai yang dipenuhi bebatuan. Batu-batu besar menutupi sebagian pantai membuat ombak pecah menggelepar.
Mutia pergi seorang diri dan dia duduk di atas batu datar yang memiliki tangga batu menuju atasnya. Dari atas sana, Mutia bisa melihat gunung Belitung di depannya dengan latar gunung Bangka di belakangnya.
“Air mata duyung?” Mutia memegang batu akik di kalungnya. “Aku harus menjadi lebih kuat lagi.”
Tidak lama berselang waktu, Mutia berdiri menghadap lautan. Angin laut membuat rambut marunnya yang terpotong sebahu tidak rata melambai. “AKU ADALAH PENGENDALI BATU AKIK…” teriaknya kuat.
Mutia mengatur nafasnya setelah melepaskan harapan terpendamnya. Selama ini dia merasa lemah dan selalu merepotkan Sandanu. Tidak bisa melindungi dirinya sendiri dan ketakutan membuatnya semakin lemah. Sekarang Mutia meyakinkan dirinya sebagai seorang jewel dan akan mempercayai pada kekuatannya sendiri.
***
Di meja makan malam, Sandanu memperhatikan Mutia yang terlihat ceria kembali. Sepertinya gadis itu menjadi seperti dulu lagi, Mutia yang Sandanu kenal. Mutia yang penuh cerita dan senyum tawanya yang selalu merekah. Di depan semua tamu makan malam, Mutia menjadi pusat perhatian karena sikapnya yang terbuka dan membuat semua orang tertawa. Saat Mutia meliriknya, Sandanu langsung tersenyum dan menikmati hidangan ala tanah Lampung.