Lima hari sebelum pesta pantai.
Di tengah Laut Lepas sebuah ombak membentuk gerakan cepat tanpa gelombang yang menyebar, hanya sebagian sebagai tempat berdiri tiga orang yang bagaikan bermain papan selancar dengan terampil karena keseimbangan mereka tidak terganggu oleh apa pun. Itu memang bukan ombak biasa, tapi ombak air yang merupakan aplikasi dari pengendalian batu akik.
Salah satu dari ketiga orang itu adalah si pengendali yang berdiri paling depan dengan menentukan arah laju menuju daratan pada pesisir pantai di tanah Minangkabau. Begitu ombak pecah, mereka mendarat tanpa ada bagian dari tubuh mereka yang basah.
Si pengendali yang terlihat lelah membuka kerpus jubahnya yang berwarna hitam dengan simbol rasi bintang ikan di bagian punggung, rambut warna nila terlihat terang terpotong pendek dengan bagian sisi menipis memperlihatkan lehernya yang berkulit putih lebih indah. Tangannya dengan jari-jari lentik menghapus air keringat di wajah. Terlihat cincin batu akik di jari telunjuk kirinya.
“Ini perjalanan patas yang sangat melelahkan,” ucapnya dengan suara khas perempuan muda berumur dua puluh empat tahun. “Lain kali jika menyeberangi lautan, lebih baik naik kapal layar.” Tangannya pun memijat lututnya yang pegal karena berdiri terus beberapa hari di atas air laut dan terlihat karena menggunakan rok mini. Alas kakinya terbuat dari sepatu kulit berhak warna kelabu.
Salah satu teman prianya terkekeh sambil melepas kerpus jubahnya yang bersimbol rasi bintang kepiting di punggungnya. Bedanya dia memakai celana panjang hitam seperti temannya yang lain. “Sudahlah, itu menjadi resiko jewel, pengendali batu akik lautan.”
Yang disindir kesal. “Sekarang tentu saja akan menjadi giliranmu, aku tidak mungkin jalan kaki dari sini menuju tanah Melayu, tenagaku hampir terkuras semuanya.”
“Bukannya kamu bisa menyerap sastra dari alam dan lautan adalah medium yang paling tepat untuk batu akikmu.” Cibir pria muda berusia dua puluh tahun yang memiliki rambut merah yang lurus, lebat, kaku bagaikan duri landak.
Itu benar juga bahwa wanita berambut nila masih bisa menyerap kekuatan dari aliran sastra alam untuk memulihkan tenaganya. Dia pun meringis menatap satu temannya yang terlihat lebih bertanggungjawab dalam perjalanan mereka. “Sekarang kita akan ke mana? Melanjutkan perjalanan menuju tujuan langsung atau…” Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, langsung dipotong.
“Ada seseorang yang akan aku temui di tanah Minangkabau,” katanya, “dia bisa memberikan persiapan untuk menambah tenaga kita.”
Pria berumur dua puluh tujuh tahun membuka kerpusnya. Jubah bagian belakang memiliki simbol rasi bintang pembawa air. Rambut ungu panjang sebawah leher terikat di bagian belakang dengan poni bagian depan yang dibelah tengah. Wajahnya terlihat tenang dan berwibawa, tatapan matanya pun tajam membuat siapa yang mendengar perintahnya akan segera mengikuti, atau dia akan terancam mati.
“Baik ketua Aquarius,” ucap dua temannya kompak.
“Sekarang giliranmu gunakan kemampuan Cancer dan biarlah Pisces beristirahat, aku akan menunjukkan arahnya,” kata Aquarius memerintah.
“Batu mirah delima bersinar.” Cancer mengucapkan mantra, membuat batu akik berwarna merah di jari tengah kanannya bersinar, “pasir melayang…”