Satu lawan tiga, Aquarius kewalahan menghadapi Caturenzi. Serangan bertubi-tubi menghantamnya, walaupun menghindar tetap saja Aquarius mendapat pukulan di tubuhnya. Dia terpental, terjatuh, terguling dengan banyak rasa sakit yang diterima olehnya.
“Sial, aku semakin kewalahan,” ucap Aquarius mencoba bangkit dengan tubuh yang melemah.
Ketiga anggota Caturenzi berkumpul mendekatinya. Aquarius mencoba hati-hati dengan datangnya serangan yang mematikan. Dia melihat ke sekeliling, atap istana Dhamna yang berlapis emtem tidak terlihat mulus. Retakan demi retakan di mana-mana, bahkan atap pun ada yang berlubang. Sisa-sisa kristal dari serangannya masih belum mencair karena udara di sekitar dingin akibat es purba.
Biarpun kristal dari serangan Aquarius masih terlihat, jenis-jenis serangan lawannya tidak ada sisa sama sekali. Memang tidak bisa diremehkan mereka semua. Dengan teknik rahasia pengendalian gurindam yang satu tingkat di bawah gurindam 12, mereka masih bisa berdiri dengan nafas yang stabil. Aquarius sendiri sudah ngos-ngosan.
“Sekarang, kamu tidak bisa berbuat apa-apa lagi!” Lubuk Jambi tersenyum kejam seakan mau memakannya.
Kemudian, mereka menggabungkan kekuatannya dengan mengelilingi Aquarius yang duduk lelah. Mereka bertiga membentuk segitiga sama sisi dengan cahaya batu akik yang bergabung dari tangan ke tangan yang direntangkan. “Bunga setaman yang bermekaran, mencari keadilan dengan hukuman….. MENARA BATU KARANG.”
“Tidak!”
Dari atas kepala Aquarius muncul batu karang besar yang membentuk kerucut seperti kukusan kosong dengan banyaknya lubang-lubang kecil di sekeliling permukaan kerucut. Lalu, kerucut batu karang itu mengurung Aquarius. Dari setiap lubangnya, bermekaran bunga raflesia yang mengeluarkan jarum-jarum dari lubang mahkota dan menghujam tubuh Aquarius. Meskipun jarum itu langsung menghilang dan menyisakan rasa sakit yang tidak terkira.
Setelah itu, sekumpulan tarian bunga lavender muncul dari lubang batu karang yang memutar tubuh Aquarius dalam gulungannya. Terakhir, bunga-bunga teratai hitam mekar yang mengeluarkan aroma wangi yang memabukkan dan beracun.
“Sepertinya dia tidak akan bertahan hidup lagi,” ucap Lubuk Riau sambil melepas selendang dan disampirkan ke bahu kanan dan kirinya dari belakang.
“Menara penghukuman batu karang memang tidak mengizinkan pelaku untuk tetap hidup.” Lubuk Bengkulu yakin anggota Arakar itu sudah terkapar karena tidak lagi terdengar teriakan sama sekali.
Walaupun yang lainnya percaya diri, Lubuk Jambi tetap tidak bisa lega sebelum melihat orang itu mati dengan matanya sendiri. “Jangan terlalu meremehkannya,” kata Lubuk Jambi, “mustahil mereka begitu lemah setelah nekad menyerang istana Dhamna tanpa pasukan apa pun, tapi hanya tiga orang saja.”
“Benar juga,” sahut Lubuk Riau, “lalu bagaimana dengan dua anggota yang lainnya?”
“Arakar, para pengendali batu bintang kelahiran, mereka bukanlah sembarang orang.” Lubuk Jambi masih memikirkan apa sebenarnya tujuan utama Arakar dan bagaimana bisa mereka melakukan semua ini.