GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #39

S1. Kerja Tim

Panglima Munzir Tolib berjalan keluar menuju medan perang. Dia adalah panglima perang termuda yang diangkat oleh Tirtadev dari tanah Ameng Sewang.

Keamanan istana Dhamna sudah kacau balau. Jenderal-jenderal telah berguguran, para mentri melarikan diri dan nasib anggota Caturenzi tidak diketahui. Dia sendiri harus menjaga Tirtadev yang masih bertahan dalam ruangannya untuk mempertahankan teknik gurindam 12 supaya istana Dhamna tidak tenggelam, sebab banyak orang yang berada di dalamnya dan dalam keadaan kritis mental dan keselamatan.

Tabung-tabung kristal air kembali terbentuk di atas permukaan es purba dan orang-orang mengantri untuk keluar dari istana Dhamna yang sudah tidak aman lagi untuk menyelamatkan diri dari wilayah teluk. Lapisan es purba pun mulai menipis karena mengobati banyak orang yang terluka parah.

Di samping keadaan itu, seseorang terbang di udara dengan naganya. Dia mencari yang dia khawatirkan. Galigo dengan naga Sawerigading mencari Mutia, karena perasaannya tidak tenang dan pikirannya selalu mengarah pada gadis tanah Aceh itu meskipun sebelumnya dia meninggalkan Mutia tanpa pesan. Tapi Galigo tidak bisa membohongi perasaannya terlalu lama. Dia sadar ketertarikannya dari awal.

Setelah memutari istana Dhamna dari arah timur menuju utara, akhirnya Galigo melihat mereka di bagian barat daya. Sawerigading menukik dan mendarat di atas es purba. Galigo melihat, seorang kakek terluka cukup parah tapi es purba tidak bisa mengobatinya. Sandanu duduk di dekatnya sambil memeluk Mutia yang menggigil ketakutan. Way Gambas berdiri menatap kejauhan dan Galigo tidak tahu apa yang putri tanah Lampung itu sawang-sawang.

“Apa yang terjadi?” Galigo turun dari naganya dan mendekati mereka.

Mendengar suara Galigo, Mutia mengangkat wajahnya. Dengan air mata yang berlinang di wajahnya, dia berdiri dan lari memeluk Galigo. “Aku mohon jangan tinggalkan aku, aku takut dan aku ingin setenang dirimu dalam kediaman yang damai.”

Galigo tidak tahu apa yang terjadi dengan Mutia. Dia melihat Sandanu, tapi anak itu hanya menggeleng kepala. Galigo hanya bisa menenangkan Mutia dengan mendekapnya. “Tenang, sekarang aku di sini.”

Kemudian, Han Tuah berdiri dan hendak pergi menemui Tirtadev. Beliau sangat mengkhawatirkan Tirtadev keempat itu yang harus bertahan demi melindungi banyak orang. Han Tuah melihat tabung-tabung tercipta kembali dan letusan gunung Bangka dan gunung Belitung mengeluarkan lava yang langsung tertangkap apinya oleh gelembung-gelembung yang muncul dari permukaan es purba.

Sepertinya Tirtadev berusaha untuk memberikan semangat bagi semua orang yang masih dalam istana Dhamna yang terjebak dan mempertahankan bangunannya yang tidak cocok lagi untuk di dalam laut. Jika tenggelam, maka istana Dhamna akan dipenuhi air dan tidak layak huni lagi.

“Aku harus menemui Tirtadev sebelum terlambat, mereka semua akan merebut mahkota negeri Tirta.” Han Tuah tidak memiliki waktu karena lukanya pun mulai parah, ditambah usianya yang sudah sangat senja. Tapi dia masih memiliki kemampuan untuk menjaga kesehatannya dalam sementara waktu.

Sandanu menatap Way Gambas. “Bagaimana denganmu?”

“Aku akan mengejar dia, mungkin ini kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya.”

“Baiklah, kalian pergi saje kejar anggote Arakar itu,” kata Han Tuah. “Orang tue ini masih sanggup berjalan sendiri.”

Han Tuah pun pergi seorang diri dengan berjalan kaki. Setelah itu, mereka yang tersisa akan mengejar Cancer. Mutia akan pergi dengan Galigo, meskipun sikapnya itu membuat Sandanu yang selama ini melindunginya merasa cemburu.

Sandanu tidak mengerti dan tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua. Entah mengapa mereka seperti saling membutuhkan. “Kalau begitu aku akan bersama Way Gambas dan memanggil Malin Kundang,” kata Sandanu. “Kamu tidak apa-apa kan bertemu dengannya lagi?”

Lihat selengkapnya