Samudera Natuna, 17 Margasira 665 Z
Sebuah pena menari di atas kertas, merangkai kata menjadi kalimat yang syarat akan makna. Isi hati tercurahkan tanpa menyisakan sesal dan berpikir kadang kehidupan tidak terlalu buruk. Mutia tersenyum saat menulis kata terakhir di penutupan suratnya. “Terima kasih Aquarius.”
Dia duduk di depan dek kapal layar lancaran yang selama empat pekan, membawanya pergi menuju negeri Dhara bersama rombongannya dari pulau Batam. Kapal lancaran sendiri, digerakkan dengan dayung dan tiga tiang layar tanja (layar persegi yang miring) dengan dua kemudi di sisi buritan.
Pagi itu matahari bersinar terang dan cahayanya menyiram kulit putih merona kemerahan yang terlukis di wajah Mutia. Dia berdiri melipat kertas suratnya menjadi sebuah kapal. “Untukmu Ka Teuku Adnan.” Mutia pun melemparkan surat yang berisi rasa terima kasih bagi anggota Arakar yang bernama biru, Aquarius. Karena dia, Mutia percaya akan kekuatannya dan kini dia adalah seorang jewel sejati.
Lipatan kertas itu diterjang ombak dan mulai tenggelam dalam lautan. Lipatannya lepas dan selembar kertas melayang di antara air laut membawa sebuah pesan menuju dunia yang tidak dikenal. Mungkin, kehidupan yang lain. Meskipun Mutia tahu bahwa surat itu tidak tertuju pada si penerima, lautan adalah bagian dari kehidupan bagi dia sekarang. Sang pengendali batu bintang pembawa air, Aquarius.
Dalam langkah kaki meninggalkan tempatnya berdiri tadi, Mutia melihat kawannya sedang melakukan semacam latihan. Dia tahu, pertemuan ini adalah sebuah takdir yang tercipta dari rangkaian peristiwa hingga kini menempuh jalan yang telah terlukis dalam benak sebelumnya. Menjelajah dunia, mengejar harapan dan mewujudkan impian.
Pagi ini, Sandanu terlihat bersemangat. Mutia tahu itu, sebab temannya yang dia kenal sejak kecil ingin menjadi seorang jewel terhebat agar dapat mengubah dunia menjadi lebih baik lagi. Dan guru berlatihnya adalah dia, perempuan berkulit hitam manis yang sedang mengajarkan kekuatan sastra tingkat syair.
“Untuk meningkatkan kekuatan sastra mantra menuju syair, kalian harus bisa menenangkan jiwa dan membendung luapan emosi supaya aliran sastra alam yang damai bisa menyatu dalam tubuh kalian.” kata Isogi pada kedua muridnya.
Mutia memperhatikan mereka dari jarak cukup dekat. Sandanu dan Boe hanya duduk bersila untuk berkonsentrasi tinggi agar jiwanya tenang supaya aliran sastra menjadi seimbang dalam tubuh dan meningkatkan kekuatan yang lebih tinggi dengan mengumpulkan aliran sastra alam.
“Mhem….” Seorang anak laki-laki berambut kecoklatan mendekati Mutia. “Kamu tidak ikut berlatih padanya?”
Mutia meringis saat pemuda dari negri Dirga itu berdiri di sampingnya. “Mantra, bahkan aku tidak bisa menggunakan mantra, bagaimana harus belajar mengenai syair?”
“Jangan terlalu merendahkan diri,” sahut Galigo.
“Maksudnya?”
“Aku tahu yang terjadi di teluk Dhamna mengenai hujan yang turun itu.” Galigo meletakkan kedua tangannya terlipat di dada, dan tubuhnya bersandar pada dinding kapal. “Bukankah itu kekuatan sastra rahasia yang kamu lakukan?”