GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #52

S2. Angkatan Laut

Dapur dalam kapal itu terdapat di bagian dalam kapal dan letaknya ada di tengah sisi kanan. Dapur merupakan ruangan kerja bagi Mutia. Di sana dia bertugas mengolah bahan mentah menjadi makanan lezat yang bisa disajikan di atas meja makan berbentuk bulat dengan lima kursi yang mengelilinginya.

Bagian perapian berada di sebelah kanan yang memanjang dengan bagian dinding penuh dengan perabotan masak yang Mutia gantungkan. Selain itu, peralatan makan disimpan pada lemari di bagian bar yang biasa digunakan saat santai di malam hari.

Sekarang, meja makan terisi penuh oleh hidangan yang semuanya merupakan makanan dari laut. Karena hanya itu yang bisa mereka peroleh, sedangkan perbekalan sayur dan biji-bijian telah habis sejak seminggu lalu.

Tentu saja, makanan kesukaan Boe yang Mutia sebutkan pun terolah dari laut. Ya, Boe terlihat lahap mekanan rumput laut yang dioleh hanya menggunakan garam. Jujur saja, Mutia tidak tega membuat makanan yang semuanya berasa asin. Hanya, bocah berambut hijau itu yang suka memakan makanan asin.

“Kira-kira berapa hari lagi kita sampai daratan?” Sandanu menatap semuanya dengan wajah tidak enak untuk menelan cumi-cumi bakar yang lain rasanya, dan tidak ada jawaban dari pertanyaannya itu.

Mutia memang tidak tega membuat makanan berasa asin, karenanya Sandanu mendapatkan menu bakar dengan rasa yang jelas-jelas pahit karena terlihat kegosongan. “Jadi hanya ini menu spesialnya, yang setidaknya tidak berasa asin.” Sandanu menelan cumi bakar dengan terpaksa.

Isogi dan Galigo hanya berekspresi tidak enak saat menelan makanannya tanpa berkomentar. Ya, mereka harus tetap memakannya. Dari semua itu, Mutia masih senang karena Boe sangat lahap menyantap makanannya meskipun Mutia menganggap anak itu aneh dengan makanan yang rasanya asin.

Di ruangan yang penuh rasa mual, hanya Boe yang sanggup sendawa karena kekenyangan. Dia pun meraih gelasnya yang terbuat dari kayu, dan sesuatu terjadi saat dirinya menggenggam gelas itu. “Ka Mutia, apa Kaka menanam pohon di gelas ini?” ucap Boe sebelum meminumnya.

“Pohon?” Mutia menatapnya.

Kemudian, kapal layar yang mereka naiki dan terbuat dari kayu-kayu mulai tumbuh cabang-cabang muda yang bermunculan secara tiba-tiba. Keanehan itu membuat mereka panik. Cabang-cabang pohon tumbuh di mana-mana, lantai, dinding, meja bahkan peralatan makan mereka.

Cabang pohon yang muncul berdaun-daun lebat hingga mereka seolah tersesat di dalam hutan. “Kita harus segera keluar…” teriak Isogi. “Cepat!”

Perintah itu langsung dilaksanakan. Mereka harus menyelamatkan diri dari kapal yang tiba-tiba hidup seperti hutan belukar. Mutia yang bingung menemukan jalan, tangan Galigo menariknya. Mereka keluar dapur dan sepanjang koridor kapal tumbuh pohon-pohon kecil yang semakin rapat hingga sulit keluar.

Sandanu yang berjalan paling depan mengucapkan mantra. “Batu mustika siliwangi bersinar, cakar harimau…” Batang-batang pohon yang terpotong cakar harimau menghilang, tapi cabang-cabang baru bermunculan.

“Ini sebuah kekuatan sastra rahasia,” ucap Boe sambil menebas batang pohon dengan tombaknya.

“Kita kedatangan tamu yang tidak diundang,” kata Isogi ketika mereka sampai di dek kapal.

Mutia yang menyusul di belakang bersama Galigo, dia terkejut melihat semua permukaan perahu penuh dengan batang-batang pohon. Mereka seolah berada di dalam hutan rimba. Mutia yang curiga, dia menepi ke dek kapal dan dilihatnya bawah kapal. “Tidak mungkin.”

***

Sejak melihat gelas kayu yang Boe pegang, Isogi merasakan adanya aliran sastra pengendalian batu akik yang mengendalikan kayu-kayu kapal hingga tumbuh batang-batang pohon dengan daun lebat. Saat Sandanu menggunakan mantra cakar harimau, Isogi menduga pelaku ada di dekat mereka dan benar yang terjadi saat dirinya melihat keadaan di luar.

Batang-batang pohon tumbuh di lantai maupun dinding kapal dan kapal sendiri tidak melaju. “Tidak Mungkin,” ucap Mutia, gadis tanah Aceh itu menatap teman-temannya. “Kapal di atas pasir putih sedangkan tidak ada pulau di sini.”

Lihat selengkapnya