Pangeran Antasari merupakan putra sulung dari ketua suku tanah Banjar. Sejak kecil, dia sangat menyukai lautan dan memiliki banyak harapan setiap melihat matahari terbit dari dalam lautan. Sebab itu, di masa remaja dirinya mengikuti pelatihan angkatan laut dan kini menjabat sebagai laksamana muda angkatan laut untuk menjaga perairan tanah Banjar.
Meskipun wajahnya terlihat tegas, sesungguhnya dia tipe orang yang santai dan mudah diajak berunding dari pada beradu kekuatan. Setelah mengetahui tujuan berlayarnya kapal yang dinaiki Isogi dan teman-temannya, Pangeran Antasari mengajak mereka menepi ke tanah Banjar dan akan mempertemukan dengan ayahnya sendiri.
Dia merasakan bahwa kedatangan mereka adalah petunjuk bagi kedamaian tanah Dayak yang terjangkit konflik antar etnis Dayak. Terlebih lagi, mereka membawa pesan dari organisasi perdamaian dunia. Mungkin mereka tidak tahu mengenai peristiwa penyerangan Arakar, tapi badan organisasi pasti mengetahuinya. Karena itulah, mereka membawa misi penting dari OPD yang Pangeran Antasari ketahui sebagai lembaga persatuan negeri-negeri dan sebagai penyeimbang atas konflik antar negeri.
“Bagaimana?” tanya Pangeran Antasari yang memberikan mereka jamuan.
“Lidahku terasa hidup kembali setelah lama tidak makan nasi dan sayur mayar…,” jawab Sandanu. “Selama seminggu… aku harus menelan makanan yang asin dan gosong….” Sandanu mengeluhkan nasib yang telah dilaluinya dalam kapal tanpa perbekalan makanan.
Pangeran Antasari mengajak mereka ke armada kapalnya karena dia tahu dari Sandanu yang mengeluh kehabisan bekal dan hanya makan makanan yang berasa asin dari lautan. Itu sebabnya, dia memerintahkan juru masak untuk membuat menu spesial bagi tamu kehormatannya. Dia sendiri menyuruh prajurit angkatan laut untuk membawa kapal mereka, sementara mereka akan berada di armadanya sampai berlabuh di tanah Banjar.
“Ya, jangan sungkan karena masih banyak makanan di sini.” Chalid yang duduk di samping Pangeran Antasari melirik Mutia yang terlihat canggung.
Tentu saja Mutia canggung. Sejak di meja makan, Sandanu mengomentari semua masakan Mutia yang asin atau hambar. Seandainya tidak ada orang lain di sana, Mutia sudah menjitak kepala Sandanu dengan sendoknya.
Di saat dirinya merasa kesal pada Sandanu, Galigo yang duduk di sampingnya memberikan isi ke dalam piring Mutia. “Sudahlah, kamu harus makan yang banyak…,” Galigo tersenyum hingga matanya terpejam saat Mutia menolehnya. “Sesampainya di tanah Banjar, aku akan mengantarmu belanja bahan makanan.”
“Ya, aku juga akan membantu,” Boe pun tersenyum. “Jangan didengar, omongan ka Danu.”
“Tunggu!” Sandanu menunjuk Mutia yang tepat berada di depannya. Saat itu, Sandanu duduk di samping kanan meja bersama Isogi dan Chalid, sedangkan yang lainnya di sebelah kiri dengan Pangeran Antasari di bagian kepala meja makan. “Apa kalian membisikkan tentangku?”
“Cukup,” pekik Mutia lirih. “Ini meja makan Sandanu.”
Pangeran Antasari yang memperhatikan mereka, hanya tersenyum karena kelihatannya perempuan hitam manis itu menahan malu sebab tidak mengajarkan kesopanan pada awak kapalnya. “Tidak apa-apa, yang makan di meja makan ini adalah keluarga.”
Isogi berdiri sambil menundukkan wajahnya. “Maafkan teman-temanku, yang mulia Pangeran Antasari.”
Ketika Isogi menyebut yang mulia, semuanya ikut menunduk. Mereka baru sadar bahwa yang ada di depan mereka adalah Pangeran keraton tanah Banjar. Kemudian, acara makan di antara pagi dan siang itu berjalan dengan sepi.
***