Lebatnya hutan bakau melindungi pulau Saranjana di tanah Banjar. Tanah Banjar sendiri menjadi satu-satunya tanah negeri dari negeri Dhara dan merupakan tanah kepulauan yang terdiri dari puluhan pulau kecil yang terletak di sebelah selatan pulau Borneo atau tanah Dayak.
Ketika bintang-bintang bersinar menghiasi langit malam, armada angkatan laut yang membawa rombongan dari negeri Tirta telah tiba di pelabuhan Kuin. Ribuan damar menyala menerangi pulau Saranjana. Damar merupakan penerangan berbentuk cawan kaca yang diisi cairan minyak dan sebuah logam bernama barol yang menciptakan cahaya dengan menyerap minyak tersebut sepanjang malam.
Biasanya damar diletakkan di atas tiang kayu sebagai penerang di luar ruangan dengan bentuk cawan yang sama untuk ukuran satu malam, hingga di malam berikutnya akan kembali diisi minyak yang bernama minyak thotor.
“Selamat Datang di tanah Banjar…. Tanah seribu sungai….” ucap Pangeran Antasari kepada tamu-tamunya.
“Ini pelabuhan yang aneh,” celetuk Sandanu. “Tidak ada pantai yang terlihat, tapi hutan yang lebat.”
“Ya benar, di pulau Saranjana ini dilindungi oleh hutan bakau yang hampir memenuhi sekeliling pulau.” Pangeran Antasari menjelaskan.
“Pulau yang terlindungi,” Isogi tersenyum sambil melangkah, mendahului.
Pangeran Antasari segera mempersilakan. “Mari kita menuju keraton Nan Sarunai!”
Di atas dermaga yang disebut dermaga cinta ini, mereka melangkah menuju ke lingkungan keraton tanah Banjar karena pelabuhan Kuin merupakan jalan masuk keraton melalui laut secara langsung. Dan pelabuhan ini tepat berada di buritan komplek keraton ketua suku tanah Banjar yang agung.
Sepanjang dermaga cinta yang penuh cahaya damar yang menyala, Galigo tidak pernah lepas memandangi Mutia yang berjalan di depannya. Meski melihat dari belakang, dia merasa damai. Kabut tebal dalam hidupnya seakan menipis. Galigo tahu, tempat ini bernama dermaga cinta dan rasanya dia ingin melabuhkan hatinya yang lelah dalam perjalanan tanpa tentu arah pada seseorang. Mutia adalah pilihannya.
Tapi, gadis tanah Aceh berambut marun itu masih menyimpan kekecewaan pada Galigo yang sempat meninggalkannya. Mutia sendiri menunggu ungkapan dari Galigo yang sayangnya pemuda dari negeri Dirga itu belum memiliki keberanian.
“Akhirnya, kita telah menyeberangi batas negeri dan mengarungi lautan menuju negeri seberang,” ucap Mutia pada Sandanu. “Apa yang akan kita cari pasti akan kita temukan!”
Sandanu langsung menggenggam erat tangan Mutia di sampingnya. “Demi guru, perjalanan ini tidak akan sia-sia.”
Sandanu dan Mutia yang melangkah jauh meninggalkan tanah Aceh, semakin memiliki semangat besar dalam perjalanan yang mereka lakukan. Demi memenuhi sebuah janji pada guru dan masa depan dunia yang damai.
Galigo yang hidup tanpa arah tujuan, seakan melihat cahaya terang di ujung lorong gelap yang selama ini dia tempuh. Galigo ingin cepat menuju cahaya itu, berlari mengejarnya untuk digapai.
Dan sepertinya, bukan hanya Sandanu yang tertarik dengan tujuan mereka berdua, Pangeran Antasari yang baru bertemu siang tadi pun penasaran. “Apa yang kalian cari?” Pangeran Antasari menoleh ke belakang membuat semua yang berjalan di atas dermaga cinta berhenti.
Sandanu menyengir. “Sebuah negeri.”