GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #55

S2. Pasar Apung

Pagi buta sebelum aktivitas keraton Nan Serunai dimulai, Mutia meminta izin pada Isogi untuk pergi ke pasar. Mereka harus mempersiapkan bahan makanan untuk perjalanan berikutnya menuju tanah Dayak.

Mutia meninggalkan kamarnya dengan membawa obor penerang menuju buritan keraton karena waktu masih dipenuhi kegelapan. Dia tahu, dirinya sudah ditunggu oleh Galigo. Mutia juga membawa selendang kesayangannya untuk menyimpan uang.

Sesampainya di buritan istana sebelah kanan, Mutia sudah melihat sebuah jukung yang akan mengantarkannya menyusuri sungai Barito menuju pasar. “Apa sudah menunggu lama?” Mutia menghampiri Galigo.

Siap sedia, Galigo membantu Mutia menaiki jukung yang mereka dapatkan dari pihak keraton. Jukung sendiri, merupakan alat transportasi khas tanah Banjar yang digunakan untuk jalur perjalanan air. Secara umum, jukung terbuat dari kayu yang diambil di hutan tanah Banjar. Ada tiga macam jenis jukung yaitu jukung sudur, jukung patai dan perahu batampit.

Galigo sendiri membawa jenis jukung sudur yang terbuat dari kayu bulat yang dibelah dua dan kemudian ditakik memanjang di tengahnya. Ujung dan pangkalnya berbentuk lancip, diberi kapih atau rubing (dinding lambung ditinggikan dengan sekeping papan) juga diberi sampung atau kepala kapal.

“Di mana Boe, bukannya anak itu juga mau ikut?” tanya Mutia.

Galigo mulai mendayung jukungnya. “Aku melarangnya ikut untuk menemani Sandanu yang belum bangun, dia bisa saja menyusul dan tanpa Boe bisa saja Sandanu tersesat.”

“He-eh,” gumam Mutia. “Kamu sendiri sudah tahu letak pasarnya?”

“Kamu pasti akan terkejut nanti, pasar yang akan kita tuju ada di atas aliran sungai ini,” ucap Galigo. “Namanya pasar Apung?”

“Pasar Apung?”

“Ya, kudengar pasar Apung hanya ada di tanah Banjar. Di belahan dunia yang lain tidak ada pasar seperti itu.”

Mutia yang baru mendengar pasar Apung, rasa penasarannya tinggi dan sama sekali tidak terbayangkan ada sebuah pasar yang kegiatannya dilakukan di atas air sungai. Pasti akan sangat menyenangkan bisa mengunjunginya.

Karena pasar itu ada di atas sungai, pasar Apung hanya beroperasi dari pagi hingga matahari setinggi tombak. Setelah itu, pasar Apung tidak terlihat lagi dan semua pedagang meninggalkan lokasi dengan jukungnya. Untuk lokasinya sendiri, pasar Apung berada di muara sungai Barito dan bertemu dengan beberapa sungai lain sehingga tempatnya begitu luas seperti lautan, tetapi airnya tetap tawar.

Galigo mengayuh jukung degan cepat supaya tidak terlambat. Menurut cerita orang Banjar, mengunjungi pasar Apung sebelum matahari terbit adalah pengalaman yang paling berharga. Di sana bisa melihat indahnya matahari terbit yang memantulkan cahayanya di atas air dengan keramaian dari kegiatan pedangan dan pembeli. Selain itu, di sisi sungai ada sebuah tebing batu besar sebagai latar yang memukau mata memandang dengan bukit hijau barisannya. Dan deretan rumah-rumah Baanjung yang agung, juga burung-burung merpati yang menari-nari.

Saat sinar matahari mulai merekah di langit pagi, Galigo berhasil membawa Mutia sampai di pasar Apung. Sebuah pemandangan penuh ramai dari kegiatan pasar di atas sungai berlatar suasana alam yang damai, membuat Mutia terkagum melihatnya.

“Terima kasih Galigo!” ucap Mutia.

Galigo menatap wajah Mutia yang berseri tersiram sinar mentari. Dengan perlahan dia kembali mendayung jukung untuk memasuki keramaian pasar Apung. Hatinya merasa lega, bisa membuat gadis berambut marun tersenyum ceria. Galigo terus memperhatikan Mutia, saat membeli barang, berinteraksi dengan pedagang, saling tawar menawar. Mutia, pembeli yang cukup menyenangkan.

Kegiatan belanja di pasar pun terasa menyenangkan. Karena saking ramainya pasar Apung, mereka pun meninggalkan jukungnya. Meloncat dari jukung ke jukung lain, menghampiri pedagang mencari barang tujuan. Karena hal itu, Galigo harus menjaga Mutia dan mengulurkan tangan untuk membantunya melangkah.

Lihat selengkapnya