Zaman dahulu kala, tanah Banjar adalah sebuah pulau besar namun di suatu hari muncul sosok iblis berkepala tujuh dengan tubuh menyerupai serigala. Ketujuh kepala serigala mengeluarkan semburan api. Ekornya pun panjang yang mampu mencambukkan hingga menyebabkan pulau Banjar terpecah-pecah menjadi pulau-pulau kecil. Selain itu juga, memunculkan sungai-sungai yang bercabang-cabang. Setiap hari iblis itu meminta tumbal anak manusia untuk menjadi makanannya dan tujuh anak setiap hari. Penduduk pulau Banjar pun menjulukinya Samali’ing. Dan manusia yang menantangnya dengan menatap matanya, jiwanya akan terkurung di dalam batu akik.
Suatu saat di tengah penduduk tanah Banjar yang semakin menderita, datang pemuda pemberani dari pulau Borneo bernama Sandayuhan. Dia seorang putra dari Uli Idang yang memiliki kekuatan sastra hebat hingga dia berhasil membalikkan tatapan Samali’ing yang membuat iblis berkepala tujuh itu menjadi batu dengan siasat cerdik Sandayuhan yang meminta Samali’ing melihat wajahnya sendiri di air sungai Barito. Karena itulah, sekarang berdiri batu tebing yang diyakini dari ribuan tahun lalu sebagai jelmaan dari Samali’ing.
Dan sekarang, iblis berkepala tujuh itu dibangunkan kembali melalui bait sastra mamajung. “AKU BANGKIT KEMABALI HAHAHAHA…..! Di MANA SANDAYUHAN, AKU AKAN MEMAKANNYA….” Samali’ing berteriak dan dia menyemburkan api ke langit.
Dari keraton Nan Serunai, ketua suku tanah Banjar melihat kebangkitan Samali’ing yang mengerikan. Mahluk iblis itu bisa menghancurkan seluruh tanah Banjar dan ini adalah hal terburuk yang akan dialami penduduk tanah Banjar seandainya setan berkepala tujuh itu tidak segera disegel kembali dalam wujud batu.
Saat melihat Samali’ing menyemburkan api ke langit, ketua suku tanah Banjar langsung bertindak. Beliau menggunakan kekuatan sastra tingkat syair. “JARING PELINDUNG…” Di sekeliling keraton Nan Serunai langsung terlapisi jaring sastra di udara untuk menghalangi serangan Samali’ing.
Bisa diperhatikan, lokasi yang terkena jatuhnya semburan api Samali’ing langsung berkobar dan seluruh kota Kuin hancur berantakan. Rumah-rumah baanjung milik penduduk yang terbuat dari kayu langsung mudah terbakar. Dan terdengar, jerit tangis penderitaan menggelora di tanah Banjar.
“Ayahanda, apa yang meski kita lakukan?” tanya Putri Zaleha.
Ketua suku menatap putrinya dan dia juga menatap putranya. “Hay putraku Antasari, pergilah dan lihat apa yang terjadi di sana!”
“Baik Ayahanda!”
“Untukmu putriku, pergilah dan ajak seluruh penduduk memasuki komplek keraton Nan Serunai untuk berlindung dari serangan Samali’ing.”
“Baik Ayahanda!”
Ketua suku tidak tahu harus berbuat apa, yang dihadapinya adalah monster ganas dari salah satu ketujuh iblis yang melarikan diri dari neraka. Tentu saja, ketua suku mengetahui mengenai kejadian di masa lalu ketika era batu akik belum dimulai.
Kini, mahluk ganas itu bangkit setelah ribuan tahun tertidur sejak berakhirnya zaman semono. Dia mengamuk karena kejayaannya sempat terkubur. Ketua suku hanya mampu berharap kepada kedua anaknya yang mempelajari teknik rahasia pengendalian batu akik yang dulu dikuasi dan digunakan oleh Sandayuhan dalam menghadapi mahluk iblis itu.
“Suamiku, ini adalah cobaan bagi kita dan penduduk tanah Banjar. Semoga ada hikmah di balik ini semua.” Istri ketua suku menyentuh bahu sumainya.
“Kita hanya mampu menunggu, apa yang akan terjadi nanti.”
***