Pulau Saranjana terlihat sekarat. Kota-kota penduduk tanah Banjar dan hutan-hutan lindung terbakar api yang lidahnya menari-nari, cepat membakar kayu-kayu rumah baanjung milik penududuk dan pohon-pohon di hutan. Dari itu semua, hanya keraton Nan Serunai yang masih berdiri dan terlindungi oleh sekat jala dari benang sutra melalui kekuatan sastra milik ketua suku tanah Banjar.
Rombongan Sandanu pun mulai mendekati Samali’ing dan melakukan serangan. Sandanu berkali-kali melancarkan serangan cakar harimau, tapi serangan itu seperti tidak terasa oleh mahluk besar si iblis berkepala tujuh. Mantra dari nafas langit milik Galigo pun tidak bisa melukai satu kepala pun. Bahkan pemutus aliran sastra dengan jantra bianglala tidak mampu menghentikan langkah Samali’ing. Eran pun mencoba dengan kipas anginnya, tapi tetap tidak bisa membuat Samali’ing berhenti melangkah. Serangan mereka seperti kutu di atas tubuhnya.
“Aku harus menyerang matanya, agar mahluk itu melihat kita,” kata Sandanu.
“Jangan, melihat mata Samali’ing bisa membuatmu menjadi batu akik,” sahut Malin Kundang.
“Batu akik?” tanya Isogi penasaran.
“Ya, dia adalah salah satu tujuh iblis dari neraka yang mengubah mahluk-mahluk astral menjadi roh batu akik.” Malin Kundang tidak bisa bercerita panjang mengenai masa lalu sebelum era batu Akik dimulai hingga dirinya pun menjadi bagian dari dunia roh batu akik. Mahluk astral sendiri adalah mahluk hidup selain manusia dan kini mahluk astral hidup sebagai roh panggilan melalui kekuatan sastra sebagai roh batu akik.
“Baiklah, aku tidak akan menyerang matanya.” Sandanu harus memikirkan cara lain.
Di samping Sandanu, Isogi menangkap sebuah misteri yang tertulis di dalam buku pusaka yang dia dapatkan dari ketua suku tanah Musi. Buku mengenai negri Galuh. “Kita harus membunuh mahluk itu,” ucap Isogi terpaku.
Di saat mereka tidak mampu mencari jalan keluar untuk mengalahkan Samali’ing. Dari arah keraton Nan Sarunai muncul seseorang yang melayang di udara. “Daun muda yang tumbuh di cabang pohon dengan kealamian alam yang sejati, batu mutiara daun muda bersinar…. KAYU BESI…” Pangeran Antasari mengunakan kekuatan sastra rahasia, Madihin.
Teknik rahasia pengendalian batu akik dengan bait sastra Madihin adalah teknik yang mampu menciptakan elemen kayu dan menghidupkan pohon dari objek apa pun. Pangeran Antasari pun menciptakan kayu-kayu besar yang muncul dari tanah dan menjadi sebuah kurungan untuk mencegah langkah Samali’ing.
“Akhirnya Sandayuhan datang juga…” Samali’ing yang mengetahui aliran sastra Madihin mengira bahwa penggunanya adalah Sandayuhan, padahal dirinya terkurung oleh Sandayuhan ribuan tahun yang lalu.
“Kau salah, ulun adalah titisan dari Sandayuhan,” kata pangeran Antasari sambil berdiri di atas kayu yang mengurung Samali’ing.
“Titisan dari Sandayuhan?” Samali’ing baru sadar bahwa dirinya telah tersegel ribuan tahun sebagai tebing batu di sisi sungai Barito. “Jadi, orang itu sudah tidak ada dan aku menghadapi keturunannya?”
“Ya, dan tidak akan ulun biarkan kau hidup lebih lama lagi.” Pengeran Antasari dengan percaya diri akan mengalahkan Samali’ing.
“Cobalah kalau kau bisa mengalahkanku…. Anak kemarin sore…” Samali’ing langsung mengamuk membuat kurungan kayu besi dari pangeran Antasari mampu dihancurkan.