GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #60

S2. Di Ujung Bencana

Pulau saranjana sekarat. Penduduk tanah Banjar terluka, menderita, dan berlinang air mata. Terlihat kota tidak lagi sama, hangus terbakar menyisakan abu-abu tidak berguna. Hutan pun tidak memperlihatkan kesejukkannya, tapi gersang dengan sisa gumpalan asap pembakaran. Semua orang meratap penuh harapan dan doa akan kembalinya tanah Banjar yang penuh cinta kembali seperti semula, sebelum iblis berkepala tujuh, Samali’ing dibangkitkan.

Udara menjadi panas, tanpa keindahan burung-burung merpati terbang kian kemari. Air sungai tercemar, penuh abu-abu menggenang karena tertiup angin. Dan tanah merekah, bergelimpangan mayat-mayat yang tidak berdaya. Benar-benar hancur lebur, kota tidak berdiri rumah baanjung satu pun.

Ketika mantra pelindung ketua suku dilepaskan, mereka yang berlindung di keraton Nan Sarunai keluar melihat keadaan. Tatapan nanar penuh duka terkembang, dengan mulut terbungkam penuh rintihan dan doa.

Di dalam keraton, ketua suku berduka sekaligus lega sebab Samali’ing berhasil dimusnahkan. “Semuanya telah berakhir dan kita hanya perlu memulai kembali dari awal untuk membangun tanah Banjar,” ucap ketua suku membangkitkan semangat penduduk tanah Banjar.

Di samping keadaan penduduk tanah Banjar, rombongan yang datang dengan kapal pinisi mengurungkan niatnya meminta bantuan kepala suku karena tanah Banjar pun dilanda musibah besar yang tidak akan terlupakan.

Eran telah menurunkan kapal pinisi dari syair bahtera awan, orang-orang dari negeri Dirga pun turut berduka cita. Hanya doa yang mampu mereka panjatkan untuk menolong mereka.

“Ketua suku tanah Banjar tidak bisa membantu kita untuk membebaskan kepala kapal dari tawanan tanah Dayak,” kata Eran. “Kita harus menyelamatkan kepala kapal sebelum kembali untuk pulang.”

“Eran, kami percaya padamu dan kami akan mengikuti rencanamu,” balas seorang pedagang dan disetujui oleh pedagang lainnya.

Selain itu, Sandanu dan teman-temannya berkumpul di ruang tamu keraton. Mereka kehilangan satu teman perjalanan yang berharga, Boe Lare ditahan dan mereka harus menyelamatkannya.

Isogi yang lebih lama bersama Boe, mengerti nasib hidup yang telah dialami anak itu. “Boe membutuhkan kita, dia membutuhkan kita.” Isogi menangis tanpa perlu menghapus air mata.

Mutia memeluknya. “Kita pasti menyelamatkan Boe.”

“Secepatnya, kita harus menuju tanah Dayak,” kata Sandanu.

Dan Galigo pun mengambil keputusan. “Aku akan meminta izin kepada ketua suku sekarang juga.”

Sebelum Galigo menemui ketua suku, putri Zaleha datang menghampiri. “Ayahku sedang berduka, jadi jangan temui dia.”

Lihat selengkapnya