GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #68

S2. Leluhur Borneo

Pertumpahan darah yang terjadi di tanah Dayak berlangsung sangat mengerikan dan penuh ketegangan. Tidak ada yang bisa melarikan diri, semuanya saling menghadapi. Rumah-rumah panggung yang berderet panjang di tatanan kota menjadi tidak karuan keadaannya, penuh panah menancap di dinding, atau tiang panggung tertebas Mandau dan bangunan ambruk. Tidak ada jam istirahat hingga tak ada orang yang menyempatkan diri untuk makan karena ritual mangkok merah saat beredar telah memberikan tenaga ekstra yang mampu membuat orang tahan dari kelaparan berbulan-bulan tanpa makan.

Sistem pertahanan negeri Dhara tidak beroperasi, lagi pula tidak akan ada orang asing yang berani datang ke medan pertempuran yang mencekam. Perekonomian pun mati total, tidak ada yang berdagang tapi semuanya berperang sudah dua hari dua malam.

Hingga di saat senja mulai menjelang pada hari merah, sesuatu terjadi di langit sore yang cerah dan tanah Dayak yang berdarah. Tanah berguncang yang mengakibatkan sebagian bangunan runtuh. Bukit-bukit longsor mengubur yang lumpuh. Retakan merekah dan orang terjatuh ke dalamnya seakan tanah Dayak yang memberikan kehidupan kepada mereka marah.

“Apa yang terjadi?” orang bertanya-tanya.

Dan ada yang berteriak. “GEMPA BUMI.” 

Namun sesuatu yang mencengangkan melintasi atas mereka. Semuanya pun menatap ke langit setelah gempa berhenti. “Apa itu?” Seluruh penduduk tanah Dayak baru pertama kali melihat fenomena yang terjadi.

Seluruh penghuni pulau Borneo tidak ada yang tahu tentang benang-benang yang melintang di atas daratan seakan mengurung tanah Dayak dalam sebuah sangkar. Benang itu berujung di sisi pantai dan melintang ke udara hingga ke sisi pantai lainnya.

Mereka yang berada di kastil Wijayapura pun memperhatikan keanehan tersebut. Peperangan berhenti seketika dalam serempak di mana-mana.

“Apa itu Kakak?” tanya Samdong.

“Yaku tidak tahu,” kata Patianom. “Lebih baik itah melarikan diri dari pulau.”

“Benar, cepat Samdong buka gerbang lumpurmu,” sahut Tigoi.

Mereka pun terlihat terluka akibat pertempuran dan ini menjadi kesempatannya untuk melarikan diri. Tapi ketika Samdong menggunakan kekuatan sastra syairnya, bumi kembali berguncang dan mereka jatuh ke dalam retakan tanah di bukit lancip itu.

“TIDAK….” Mereka pun tidak bisa dipastikan keselamatannya.

Lalu, bumi berhenti berguncang. “Apa yang akan itah lakukan?” tanya Adipati Punan.

“Sebaiknya itah pergi ke istana Kotawaringin dan lihat keadaan di sana,” ucap pangeran Guan. “Seperti ada yang tidak beres.”

“Benar, gempa ini bukan bencana alam biasa,” kata Isogi.

Kemudian, pangeran Guan menggunakan mantra perpindahan dengan membawa semua orang termasuk mayat ibu suri yang dijaga oleh Mawenai dan Sera temannya yang juga seorang jewel dari batu mustika kupu-kupu. Dengan mantra kepompong, dia membungkus mayat itu menjadi mumi.

Ketika tiba di istana Kotawaringin, mereka terkejut melihat kota yang berantakan tidak berwujud. Semuanya hancur lebur dan orang-orang bimbang dalam ketakutan. Panglima Tjilik Riwut yang melihat kedatangan mereka langsung mendekat dan dirinya pun tidak mengetahui tentang benang yang melayang di udara membungkus pulau Borneo.

Keadaan Adipati Ot Danum sendiri berdiri tanpa berdaya melawan kehendak alam. Tapi benarkan itu akibat alam yang murka?

Lihat selengkapnya