Di atas kapal pinisi yang membawa pedagang , ketika senja menjelang nampak dua pemuda berdiri di dek depan. Mereka dua jenis kelamin berbeda yang dalam hatinya meragukan perasaan yang padahal telah datang sejak awal pertemuan. Mungkinkah cinta itu ada?
Mutia menyadari hanya ada Galigo di sampingnya, karena rekan yang lain sedang berada di kabinnya masing-masing. Dia berbalut baju petualangannya berwarna biru dengan corak kuning dan rok warna biru seatas lutut, sedangkan Galigo mengenakan baju putih berlengan panjang dan celana panjang hitamnya.
Sebuah senyum terlukis di bibir Galigo untuk Mutia dengan tatapan mata sipitnya yang hampir terpejam. “Sekarang aku mempercayakan luka di hatiku untuk kamu obati.”
“Mmm… maksudnya?” tanya Mutia ragu.
“Aku mencintaimu.” Galigo menggapai sebelah pipi Mutia dengan telapak tangan yang menyentuhnya lembut.
Mutia langsung menyentuh tangan Galigo itu. “Aku akan mencoba untuk melakukannya… mengobati luka hatimu dengan cintaku.”
“Terima kasih!”
Kini sebuah ikatan cinta telah terikrar dengan pasti menghilangkan kegundahan hati. Kapal pinisi menjadi saksi dan burung-burung bermigrasi terbang memberikan kerestuannya dengan kicauan indah dalam ikatan kasih sayang yang seharusnya tetap mereka jaga.
Kabar bahagia itu pun, langsung diketahui yang lainnya saat makan malam. Sandanu yang mendengar hal tersebut langsung memberikan peringatan pada Galigo untuk menjaga Mutia dan jangan sampai disakiti atau ditinggal pergi. Yang lainnya pun memberikan selamat.
Mutia dan Galigo berbahagia dengan saling bergandengan tangan saat acara malam di atas kapal. Mereka pun menikmati panjangnya waktu malam bersama di dek kapal, melihat indahnya bintang-bintang di langit yang berkilauan seakan memberikan banyak harapan yang datang.
“Kamu tahu?” Galigo menatap Mutia yang berdiri di depannya, sedangkan dirinya duduk di sisi dek kapal. “Sepertinya Sandanu juga menyukaimu?”
Mutia terkekeh sambil memegang jemari-jemari Galigo di telapak tangannya. “Sandanu sudah menganggapku seperti saudara sendiri karena itu dia sangat melindungiku.”
“Aku hanya ingin, aku yang bisa melindungimu.”
“Kamu cemburu?”
Galigo mendesah. “Aku hanya terpikirkan kalau saja Sandanu menyukaimu, sama sekali tidak layak untukmu.”
“Kenapa?”
“Kamu harus hanya untukku.”
Mutia tersenyum dan hatinya bahagia bahwa kini cinta telah hadir dalam hidupnya. Cinta yang menyentuh pada jiwa, dan jiwa mendamba dalam setiap pejaman mata. Ya, saat itu di antara kesunyian malam yang menenangkan dalam alunan angin laut dan pecahan ombak pada badan kapal, Galigo mengecup bibir Mutia di antara kedua mata yang terpejam.
Biarkanlah waktu iri pada keromantisan mereka, dan biarkanlah suasana mengalir pada perasaan mereka. Malam dihabiskan oleh keduanya dalam bercengkrama mengukir makna cinta yang sesungguhnya, untuk selalu bersama, saling melengkapi dan memahami. Tidak untuk saling melukai. Dan di atas langit, bintang beralih untuk mengabulkan doa-doa mereka yang dipanjatkan untuk selalu setia.