Semilir angin nampak menggoyangkan nyiur hijau di pinggir pantai. Barisan batu karang yang tak beraturan menghadang laju gelombang ombak hingga pecah menciptakan buih-buih kecil yang memasuki lubang di antara batu karang. Dari arah lautan, kapal pinisi mulai menepi setelah berlayar selama tiga pekan.
Suara terompet sebagai tanda akan berlabuhnya kapal berbunyi bersahutan sebagai pemberitaan pada para penumpang. Hilir langkah kaki, saling melangkah menuju dek kapal untuk melihat ujung laut, terlihatnya daratan.
“Selamat datang negeri Dirga…” Sandanu berteriak semangat. “Galigo, kamu hampir sampai rumah sekarang.”
“Lihatlah!” Boe menunjuk sebuah rumah menyendiri di daerah pantai. “Itu pasti panti asuhan Kasih Sayang.”
Galigo tersenyum ringan. “Benar, rumah itu lebih besar dari yang dulu.”
“Kamu siap untuk pulang?” Mutia mencengkram jemari tangan kanan Galigo karena dia ada di samping kanannya.
Isogi yang berada di sana terlihat menerawang jauh ke suatu tempat. “Aku jadi merindukan kampung halamanku.”
“Ke negeri Karra?” tanya Sandanu. “Kami pasti akan mengantarmu pulang ke negeri Karra.”
“Terus kapan kita akan pulang?” tanya Mutia.
“Sebelum menemukan negeri Galuh, kita tidak akan pulang.” Sandanu ingat pada janjinya terhadap guru mereka, Syekh Sayuti Malik. “Kita harus menepati janji kita pada guru.”
Mutia mengangguk. “Kita pasti akan menemukannya.”
“Mungkin di sanalah rumah kita untuk pulang.” Sandanu yakin bahwa dunia akan berubah ketika negeri Galuh bertahta.
Kemudian, kapal pinisi telah berhenti dan rombongan penumpang yang sebagian besar para pedagang turun untuk melihat keindahan tanah Selayar. Sandanu dan rombongannya pun melangkahkan kaki melalui dermaga Kasih Sayang.
Mulai terlihat pasir putih terhampar dengan banyak karang yang berserakan dan kepiting-kepiting yang berjalan menyamping. Ada pula kelomang yang hidup bersembunyi di balik cangkang siput. Seekor bintang laut berwarna biru tergeletak dan hampir terinjak saat Galigo melangkah.
“Hati-hati…” hardik Mutia melihat bintang laut.
Galigo membungkuk untuk mengambil bintang laut itu. Ketika mengangkat kepalanya, Galigo melihat gadis Makassar yang terduduk di atas batu karang bergaun warna biru. Kain bajunya melambai oleh terpaan angin dan tangannya memainkan sebuah alat musik petik. Dia pun menyanyi dengan suara yang merdu.