Di pagi buta yang berselimut udara dingin. Deburan ombak memecahkan kesunyian. Di langit bintang-bintang perlahan padam. Dan sebuah langkah kaki berjalan menuju panti asuhan di pinggir pantai. Mereka datang untuk menagih janji akibat perhutangan.
Sebuah panti asuhan bergaya rumah balla lompoa dengan atap berbentuk pelana, bersudut lancip dan menghadap ke bawah. Merupakan rumah panggung yang disangga oleh tiang-tiang kayu yang berjajar rapi dan terbagi dalam beberapa bagian di antaranya dego-dego (teras), tambing, kale balla (rumah induk) dan balla pallu.
Rumah balla lompoa tidak bisa berdiri tanpa ada dana dari donatur, tapi pengurus berusaha mencari pinjaman demi memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Akan tetapi, tiba saatnya jatuh tempo dalam perjanjian mereka tidak bisa melunasi hutang. Dan sang pemberi hutang datang untuk menagih janji.
“Di mana anak itu?” tanya orang berbadan besar ketika pintu panti terbuka lebar.
Seorang wanita dewasa yang membukakan pintu bicara dengan nada tidak tega. “Alena sedang tidur di kamarnya.” Dia yang bertanggung jawab di panti asuhan dengan terpaksa akan memberikan dua anak panti sebagai budak karena tidak sanggup melunasi hutang.
Kemudian, dia yang bertugas untuk membawa anak itu segera memasuki kamar anak-anak dan membawa dua anak laki-laki. Mereka adalah Andi Galigo dan Eran Paerunan. Kedua anak itu tidak mengetahui tentang rencana ini, sebabnya mereka dibawa pagi hari supaya tidak ada anak yang mengetahuinya.
Ibu panti yang tidak tega meminta maaf sambil memohon di depan mereka untuk merelakan diri demi anak yang lainnya, karena jika tidak panti asuhan akan diambil alih dan yang lainnya bisa hidup terlantar.
Tapi saat kejadian itu terjadi, seorang gadis kecil terbangunkan. Dengan membawa bonekanya, dia mendekati kericuhan yang terjadi di ruang depan. Anak itu bernama We Cudai, dia tidak bisa menerima bahwa kedua temannya akan dibawa pergi dengan paksa sebagai budak para pedagang yang memiliki modal.
Dengan bersedih hati dan memendam amarah, kedua anak laki-laki itu manut dibawa pergi. Akan tetapi, gadis kecil yang membawa boneka tidak rela. “Gali, kamu jangan pergi….!”
“Cyu… iyyaq dan Eran harus pergi.” Galigo bicara sambil menangis seperti We Cudai. “Iko jangan melupa, iyyaq pasti akan kembali.”
“Benarkah itu?” We Cudai mengusap air matanya. “Iyyaq akan selalu menunggumu karena idiq sudah berjanji untuk hidup selamanya.” We Cudai mengangkat tangan dan membentuk segitiga dengan jarinya. “Janji bintang laut.”
Selepas itu, orang yang mengambil Galigo dan Eran membawa pergi mereka dengan kereta kuda. Dan kejadian ini tidak akan pernah Galigo lupakan. Eran yang lebih tua sedikit bisa bersabar dan menasehati Galigo bahwa ini demi kebaikan semuanya, termasuk We Cudai.