Sejak pagi buta di hari itu, penduduk tanah Toraja disibukan oleh persiapan ritual manene. Seluruh keluarga besar berkumpul melakukan penyembelihan kerbau atau babi hingga kegiatan itu selesai, mereka pun berbondong-bondong pergi ke kuburan gua-gua batu di tebing Lemo, saat matahari setinggi tombak.
Di permukaan tebing, terdapat patung-patung kayu yang mempresentasikan mayat di dalam kuburan. Kemudian, dari dalam gua-gua batu, setiap keluarga besar mengangkat peti mati leluhurnya atau kerabatnya yang telah meninggal. Setiap laki-laki berkeliling saat peti mati diangkat dan para wanita bersenandung sebagai simbol ratapan mengiringi gerak para laki-laki setiap membuka peti mati dan mengangkat mayat di dalamnya.
Mayat-mayat leluhur dan kerabat yang masih baru meninggal atau yang puluhan tahun meninggal, mayat-mayat itu diangkat dan diajak pulang ke rumah. Dengan dituntun, mayat-mayat tersebut diajak berjalan setelah digantikan pakaian yang baru layaknya manusia hidup yang bangkit dari kubur.
Keramaian ritual manene terlihat di seluruh titik tanah Toraja. Jalan-jalan besar penuh dengan iringan mayat hidup yang berkumpul dengan keluarga besar, bersuka cita, bersenandung penuh kenangan dan penghormatan.
Saat itu, rombongan Sandanu berdiri di sisi jalan besar untuk melihat ritual manene berlangsung hingga suatu hal yang tak diinginkan terjadi. Sepasang mayat hidup tanpa keluarga datang dengan kekuatan mistis membuat ritual manene semakin menakutkan.
“Apa kamu mengenali mayat itu, Eran?” tanya Sandanu yang mengejar Eran bersama teman-temannya saat mendengar ada mayat hidup secara nyata dan membuat kekacauan.
Eran menatap Sandanu dan teman-temannya, lalu menundukkan kepala. “Sebelum aku meninggalkan tanah Toraja dulu, pada ritual manene belasan tahun yang lalu aku melihat mayat hidup itu.”
“Apa yang terjadi dulu?” timpal Galigo.
“Orang-orang bilang dia mencari anaknya, dan seseorang memintaku untuk pergi sebab mayat itu mendekati anak-anak. Sejak itu, aku tidak pernah melihat acara ritual manene lagi.”
Terlihat, pria dewasa di tanah Toraja mengerumuni mayat itu dengan membawa senjata untuk berjaga-jaga kalau mayat hidup tersebut menyerang. Kedua mayat itu benar-benar berjalan sendiri, layaknya manusia hidup sungguhan dan ini membuat orang-orang takut.
Terdengar bicara orang-orang, mayat itu bisa hidup karena menghisap darah manusia di saat malam. Setiap ritual manene, kedua mayat yang dianggap suami istri itu selalu datang untuk mencari anaknya. Tapi, di acara suci ini kedua mayat tidak pernah menghisap darah karena siang hari.
“Tidak ada ketua suku sekarang,” ucap seseorang, “bagaimana kalau bunuh mayat itu dan potong-potong tubuhnya supaya tidak hidup lagi?”
“Mungkin itu cara yang terbaik, pasukan keraton Bone pun akan segera tiba,” timpal yang lainnya.
“AYO CINCANG MAYAT ITU,” teriak orang-orang dengan mengangkat senjata tajam.