GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #77

S2. Gurun Wentira

Setelah makan siang, perjalanan pun dimulai memasuki gurun Wentira. Wilayah gurun sendiri merupakan daerah terkering di dunia yang mendapatkan curah hujan terendah dengan suhu paling ekstrim. Untuk beradaptasi dengan lingkungan gurun, mereka pun memakai jubah penutup kepala dan hidung karena sewaktu-waktu angin bisa datang menerbangkan butiran pasir.

“Apa Asthabuddhi juga melewati perjalanan seperti ini untuk mengunjungi undangan Dirgadev di istana Luwuk?” tanya Sandanu.

“Ya, melewati gurun adalah jalan satu-satunya,” jawab Eran.

“Berapa lama kita harus melewati gurun ini?” Mutia yang bertanya.

“Sekitar satu minggu.”

“Bagaimana dengan acara mereka?” Kali ini giliran Isogi. “Apa mereka telah berkumpul?”

Dan tuan Halu Oleo yang menjelaskan. “Undangan itu diterima oleh ketua suku Toraja tiga hari sebelum kedatangan kita. Kemungkinan besar, di antara mereka ada yang masih dalam perjalanan. Mereka datang sendiri karena adanya pengawalan hanya menghambat perjalanannya. Dan ketua suku terjauh dari tanah Minahasa yang bisa memakan waktu dua pekan.”

“Kalau begitu kita bisa menyusul mereka,” sahut Galigo.

“Tapi apa kita tidak perlu istirahat?” kata Boe, “matahari akan segera tenggelam.”

“Biarpun siang hari suhu di gurun begitu panas, pada malam hari suhu akan turun sangat rendah, jadi kita akan istirahat sebentar lagi menunggu petang menjelang,” ujar Eran.

Perjalanan di atas gurun pasir mengendarai burung onta dengan udara yang panas membuat mereka cukup kelelahan, tapi dengan kekuatan dari lirik sastra hiem milik Mutia yang menurunkan hujan lokal membuat mereka merasa segar kembali. Baju mereka yang basah pun akan segera kering oleh lapisan udara di gurun pasir.

Tidak ada satu pun tumbuhan yang terlihat di gurun pasir yang luas berbukit-bukit, seekor binatang pun tidak ada yang menampakan diri. Semua hanya kegersangan dan kegersangan. Kadang kala angin yang berhembus menerbangkan butiran pasir dan jejak langkah mereka menghilang atau mereka pun tidak akan menemukan jejak orang lain yang pernah berjalan sebelum mereka.

Dan tiba waktu matahari tenggelam, sinar bulan sabit memberikan penerang bersama lintang-lintang yang berkerlipan di langit malam. Suhu udara pun turun sangat drastis hingga mereka memerlukan pakaian yang tebal. Hal itu mereka alami dari hari ke hari dalam perjalanan di atas burung onta. Mereka beristirahat sebentar untuk memulihkan tenaga burung onta dengan memberikannya air minum dari curah hujan lokal yang Mutia turunkan.

“Akulah si Malin Kundang asli dari Minang…. Kabau…” Tanpa diundang mahluk astral yang terbebaskan datang mencuri perhatian mereka yang beristirahat santai di atas tikar rotan.

Sandanu terkejut. “Malin ada apa kamu ke mari?”

Malin Kundang melipat sayapnya sambil menyeringai. “Aku merindukanmu sahabatku dan ada hal yang harus aku ceritakan.”

“Cerita tentang apa?” sahut Mutia dan semua orang menatap Malin Kundang.

“Kalian ingat peristiwa di tanah Banjar mengenai iblis Samali’ing?”

Lihat selengkapnya