Selain pohon palem dan cycas yang tumbuh banyak di daerah oasis, ada pohon-pohon kaktus yang tumbuh berjajar di sepajang jalan besar di tanah Bugis dengan bunga-bunga yang beraneka warna dan jenisnya. Burung-burung kecil pun berterbangan mencari makanan dari pohon-pohon rindang lainnya.
Dari pintu masuk tanah Bugis, rombongan Sandanu menyusuri jalan besar dan telah melepaskan burung onta yang akan kembali berlari mencari pemiliknya di tanah Enrekang. Rumah-rumah penduduk tertata rapi bergaya rumah langkanae yang berdiri memenuhi sepanjang jalan besar.
Rumah langkanae sendiri dibangun dengan ciri khas memiliki 88 tiang berbentuk persegi empat seperti layaknya rumah panggung pada umumnya dengan atap pelana. Yang membedakannya adalah pahatan dan ornament rumah tersebut yaitu ukiran bunga prengreng yang memiliki filosofi hidup menjalar sulur yang berarti hidupnya tidak putus-putus.
Karena mengikuti tuan Halu Oleo, maka tujuan mereka adalah tempat kediaman mentri perdagangan yaitu mentri Karaeng yang berdiam di rumah bergaya saoraja yang menandakan status bangsawan. Rumah saoraja sendiri, atapnya berlereng dua dan kerangkanya berbentuk huruf ‘H’ terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak. Tianglah yang menopang lantai dan atap, sedangkan dinding hanya diikat pada tiang luar.
“Selamat datang kembali tuan Halu Oleo…!” sambut mentri perdagangan di ruang menerima tamu yang disebut lotang risaliweng. Terlihat, di ruang tersebut ada tamu lain yang duduk santai menikmati minumannya dengan gaya elegan. “Tamu besar mana yang Îdi' (kamu) bawa kemari?”
Di dalam ruang tamu itu terdapat berbagai koleksi barang antik yang tidak dimiliki sembarang orang seperti lukisan cap telapak tangan di atas batu yang berasal dari gua Maros yang dipercaya peninggalan ras kuno yang selamat dari peristiwa banjir besar. Dan juga patung Palindo yang dibawa dari lembah Palu di tanah Kaili dari peninggalan peradaban tertua di dunia.
“Maafkan iyya' membawa banyak tamu ke kediaman Tuan mentri,” kata Halu Oleo sambil melirik tamu tuan menteri yang seakan tidak terganggu dengan kedatangannya. “Padaléna (mereka) hanya beberapa anak muda yang mengembara.”
Semua orang memberi hormat, tapi Galigo yang mengenali mentri itu masih tegap memandang ke depan. Dia yang dulu menjadikan dirinya budak, begitu gagah kini menjadi seorang mentri. Tidaklah patut menurut Galigo mendapatkan jabatan setinggi ini. Dia orang yang sewenang-wenang dan tidak pernah menghargai orang.
“Ada apa anak muda?” tanya mentri Karaeng. “Mengapa ki menatapku begitu?”
“Apa ki telah lupa padaku, dulu anak yang ki caci dan ludahi?” Suara Galigo membuat yang lainnya terkejut, masih ada nada dendam dan kebencian yang dikeluarkan.
Wajah mentri Karaeng yang kasar berkumis tebal mengingat-ingat dan dia tersenyum bengis ketika mampu mengenali wajah Galigo. “Hahaha… ternyata ki anak yang berani melarikan diri dari kekuasaanku, sudah cukup kuatkah ki datang kemari untuk menantangku?”