GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #100

S2. Senja di Peradaban

Semilir angin menggerakkan butiran pasir. Di langit sore, mega mendung mempesona. Sinarnya memercikan pantulan keemasan di permukaan mata air Luwuk. Orang-orang menyeberanginya dengan sampan yang terbuat dari papan. Mereka bergegas menuju piramida, di sana tertimbun kekayaan istana yang terselamatkan dari bencana.

Kekayaan yang tersimpan akan dibawa sebagai bekal dalam perjalanan meninggalkan kota Luwuk yang telah mati, tidak lagi bisa dihuni. Biarkanlah, semuanya tertinggal sebagai kenangan dari peradaban lama.

Dirgadev Manurung telah pulih dan dia sendiri yang akan memimpin perjalanan ini dengan dibantu oleh Asthabuddhi. Rakyatnya mengumpulkan harta benda dan bahan makanan ke dalam salah satu piramida. Kemudian, di sebuah ruang rahasia tertinggi puncak piramida, Asthabuddhi berkumpul mengerahkan kekuatan sastranya.

Di samping itu, Sandanu dan teman-temannya berkumpul di ruang dalam piramida dekat dinding luar. “Apa yang dipikirkan oleh Dirgadev Manurung ya untuk membangun kembali kota pemerintahan?” ucap Sandanu, dia merasa bahwa kehancuran kota Luwuk jauh lebih parah daripada istana Dhamna di negeri Tirta.

Mutia yang berdiri di dekatnya menyahuti. “Ini memang berat bagi negeri Dirga.”

“Kalian tahu siapa saja anggota Arakar yang menyerbu?” tanya Boe. “Mereka semua berasal dari negeri Dirga sendiri.”

“Itu tidak penting, bukankah yang menyerbu istana Dhamna juga berasal dari negeri Tirta sendiri?” sahut Galigo.

Isogi tidak peduli siapa saja anggota Arakar dan dari mana asalnya. “Tapi mereka semua hebat, sepertinya untuk menjadi anggota Arakar harus menguasai khodam.”

Membicarakan mengenai khodam, Sandanu tertarik. “Apa kamu tahu caranya untuk menguasai khodam?”

“Piramida siap untuk lepas landas.” Tiba-tiba Eran yang sebelumnya menertibkan masyarakat yang bertahan sampai akhir untuk menempati ruangan yang disediakan, mendekati mereka dan memberitahukan bahwa bangunan piramida akan terbang. “Kalian bisa istirahat ke kamar yang sudah disediakan.”

Sandanu dan teman-temannya yang awalnya mengaggap bahwa malam ini hanya istirahat di piramida sebelum perjalanan esok hari terkejut. “Piramida ini terbang?” seru mereka tercengang.

Eran tersenyum. “Iya, Dirgadev Manurung dan Asthabuddhi sedang melepas segel sastra di dinding piramida.” Eran memberitahukan relif yang tertulis di dinding piramida.

Selanjutnya, di ruangan lain Dirgadev Manurung memimpin sebuah ritual pelepasan kekuatan sastra. Relief-relief di dinding yang terukir lirik sastra dari aksara lontara menyala dan tiba-tiba dinding piramida menjadi logam perak dengan beberapa kaca bening, bukan lagi batu bata dari tanah liat yang dibakar. Piramida yang bisa menampung orang-orang yang masih bertahan hidup dari bencana terangkat dengan tekanan udara di bagian bawah piramida.

Di samping itu, masih ada seseorang yang tinggal berdiri di tengah reruntuhan kota sambil tersenyum melihat sekeliling. Dia tahu bahwa akan ada serangan Arakar untuk mendapatkan mahkota elemen dunia dan sudah menduga peristiwa buruk itu terjadi. Dia adalah tuan muda Gaugau yang siap memburu keuntungan dari barang-barang berharga yang ditinggal.

“Selamat tinggal… Luwuk.” Semua orang melihat kota yang telah hancur lebur untuk terakhir kalinya bersama hilangnya mega mendung, dan di langit bintang-bintang mulai bersinar mengantarkan perjalanan mereka, terbang di atas gurun Wentira.

Lihat selengkapnya