GALUH

Prayogo Anggoro
Chapter #101

S3. Negeri Cakra

Pulau Maluku, 29 Palguna 665 Z.

Menara Ternate dan Tidore, sebuah menara kembar yang di bangun antara sisi air terjun terindah di tepi negeri Cakra dan menjadi ikon terdepan di negeri persemakmuran yang dibangun oleh organisasi perdamaian dunia atau OPD di kepulauan Moluscus. Sebab itu, menjadikan negeri Cakra satu-satunya negeri terkecil di dunia yang bebas aktif dari pengaruh lima negeri besar.

Menara Ternate dan Tidore sendiri dibangun dengan gaya arsitektur rumah sasadu yang terbuka secara bertingkat dengan tinggi tiga puluh tingkat rumah sasadu di tepi pulau Maluku. Dari kejauhan bisa dilihat tiang-tiang penopang dari kayu sagu berlapis perak.

“Apa kamu yakin kita akan jalan kaki sampai puncak menara?” tanya gadis berambut marun di atas jembatan lengkung tidak jauh dari menara yang menghubungkan dua sisi sungai Loloda.

Anak laki-laki di depannya, dengan mata sipit, dia mendongak untuk melihat puncak menara. “Untuk membuktikan cinta kita pada dunia, aku yakin untuk berjalan kaki menaiki menara ini.”

Kemudian, dua sejoli yang tadi berdiri di atas jembatan penghubung dua menara kembar yang terpisahkan oleh sungai, mengambil arah yang berlawanan. Ada kepercayaan setempat yang mengatakan, jika sepasang kekasih mampu berjalan bersama dari dua menara yang berbeda dan bertemu di atas jembatan penghubung puncak menara, maka cinta mereka akan abadi.

Masing-masing dari mereka mulai memasuki menara Ternate dan Tidore. Keliling menara itu berbentuk segi enam dengan enam pintu masuk dari setiap sisinya. Tiang-tiang penopang dihubungkan dengan balok penguat dan beberapa bagian dari balok penguat difungsikan sebagai tempat duduk, sedangkan tiang penopang lain untuk menyangga papan lantai atasnya. Di setiap sisi bagian atap perlantai ada hiasan dari bola-bola yang diikat oleh ijuk dekat kain hiasan sebagai simbol kestabilan dan kearifan masyarakat.

Di dalam ruangan terbuka itu, terdapat tiga puluh tiang penyangga lantai atas yang dihiasi dengan papan-papan meja seperti jamur pada kayu. Untuk tangga menaiki lantai menara ada di bagian tengah rungan yang mengelilingi kayu gelondongan yang besar dengan papan kayu sebagai anak tangganya. Dua sejoli itu pun menaiki anak tangga bersamaan karena bangunan menara yang terbuka sehingga keduanya bisa saling memperhatikan.

Dari matahari setinggi tombak di sebelah timur sampai matahari hampir tergelincir jatuh ke sebelah barat, keduanya masih terlihat menaiki menara tersebut. Dari ketinggian menara, mereka bisa menikmati pemandangan kota Loloda di tanah Togutil yang manjadi pusat pemerintahan negeri Cakra dan bentangan laut Seram dari arah berlawanan.

Dan kemerduan suara air terjun Kahatola di antara menara kembar dengan debur ombak lautan, mengalir deras dari ketinggian melebihi pohon-pohon kelapa di pesisir pantai karena memang air terjun itu langsung jatuh menuju lautan lepas.

Tepat, saat gerombolan burung camar datang dari garis cakrawala di tengah samudra, terbang mendekati daratan dan teduhnya sinar matahari sore, dua sejoli itu bertemu di atas jembatan penghubung puncak menara. Oh iya, di puncak menara itu terdapat atap yang melambangkan kehidupan masyarakat Maluku sebagai pelaut, yaitu berbentuk perahu yang terbuat dari anyaman daun kelapa dengan kerangka bambu. 

“Apa kamu lelah?” dari pihak gadis menanyakan keadaan kekasihnya yang terlihat mengambil napas ngos-ngosan.

Sedangkan pihak laki-laki memperhatikan kekasihnya yang masih saja terlihat segar bugar. “Bagaimana kamu bisa sekuat itu?”

“Sebenarnya, tubuhku memiliki antibodi untuk menangkal rasa lelah, apalagi hanya menaiki menara,” gadis itu tersenyum sambil mendekatkan telapak tangannya menyentuh dada kekasihnya. “Batu air mata duyung bersinar.....” Gadis itu mengucapkan mantra untuk memulihkan tenaga kekasihnya.

“Terima kasih, Mutia.” Dan anak laki-laki itu memeluk erat kekasihnya.

Saat pelukan itu dia lepas, Mutia langsung memandang wajah kekasihnya. “Aku mencintaimu Galigo.”

Lihat selengkapnya