GALUH

Herlan Herdiana
Chapter #1

UJUNG PELANGI

Sekelompok gadis muda, bermain air di aliran sungai yang dangkal. Lalu ada sepasang mata yang bersembunyi dibalik daun dan ranting, sedang memperhatikan mereka dari jauh. Satu persatu gadis mulai menanggalkan pakaian mereka, diiringi wajah ringai seseorang dari atas pohon yang pemiliknya sama dengan sepasang bola mata tadi. Para gadis menyusun rapi pakaian mereka diatas batu yang kering, menyisakan kemben yang masih menutupi dua pertiga dari tubuh mereka. Tulang selangka yang terbuka, meliuk bebas ketika tangan mereka saling mencipratkan air. Riang, tawa, dan kebebasan terlihat diwajah mereka ketika saling membasahi satu sama lain. Meski mereka sama sekali tidak menyadari, ada pemuda berwajah mesum yang sedang mengawasi gerak-gerik mereka dari atas ketinggian pohon yang jauh.

“Turun kau bocah cabul!” Suara serak wanita tua memecah hening, di lembah tersembunyi pinggiran desa yang asri.

Mendengar suara yang asing dari arah hutan, para gadis serentak menghentikan kegiatan mereka. Lalu mengambil kembali pakaian mereka dan pergi dari tempat itu dengan tertib. Meski wajah mereka terlihat sangat panik.

Si Pemuda yang sangat mengenal warna frekuensi suara itu, mulai memasang wajah pucat. “Nini! Kenapa nini sudah ada disini! Bukit puntang kan masih setengah hari perjalanan!” Dengan suara sedikit cempreng, Ia meneriaki neneknya yang sedang berdiri dibawah pohon.

“Kau tidak tahu saja kalau Aku bisa mengendarai angin.” Nini mulai memasang kuda-kuda, dan mengumpulkan energi chakra biru di telapak tangannya yang mengepal. Tubuh rentanya yang masih atletis, melakukan beberapa gerakan silat yang sering kita lihat ketika ada pertunjukan budaya di sekolah.

Melihat itu, wajah Si Pemuda semakin panik. “Gawat! Kalau sudah begini, enggak ada lagi yang bisa menghentikannya.” Si Pemuda mencoba untuk lompat dari atas ketinggian pohon tempat Ia sedang berdiam diri. Ketika akan melompat, gerakannya terhenti karena bagian belakang Totopong (sebutan kain ikat kepala untuk masyarakat sunda) yang panjang seperti yang diperlihatkan pada Cover,  terjerat dengan kencang bersama batang pohon. Ia menoleh kebelakang untuk mencari tahu apa yang menyebabkan pakaiannya terikat, dan ternyata ada sebuah belati menancap di ujung bagian Totopong itu. “Sejak kapan pisau itu menancap disana?”

Nini berlari untuk memulai serangan,

“Nini! Tolong jangan lakukan tindakan anarkis! Semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik kan?” Teriaknya dengan panik, sambil berusaha untuk mencabut belati yang tertancap dengan sekuat tenaga.

“Bukk!” Nini memukul batang pohon tempat Si Pemuda berada dengan kepalan tangannya. Ketika pukulannya menyentuh kayu batang pohon, Aura biru yang tadi terkumpul menghempas seperti kilatan cahaya yang tanpa suara. Ketika cahayanya hilang, batang pohon yang berdiameter sekitar 1 meter itu memiliki lubang selebar 3 kali jam dinding. Menyisakan sedikit  batang tersisa, yang sekarang mulai patah karena tidak mampu menopang keseluruhan berat pohon dan berat Si Pemuda.

Pohon mulai doyong dan jatuh, “Arghhhh!” Si Pemuda berteriak sekencang yang Ia bisa.

“Brukk!” Suara kencang serta timbulan getaran amplitudo yang tercipta, mampu membangunkan semua penghuni hutan yang sedang tidur siang. Burung-burung yang sedang santai di dahanpun, tidak luput beterbangan kesana kemari.

Nini berjalan dengan santai ke arah Si Pemuda, “Kamu masih hidup?”

“Jika ingin menanyakan itu, tunjukan seolah-olah Kau itu peduli!” Racaunya, sambil menyingkirkan daun-daun dan batang pohon yang menutupi tubuhnya. “Bagaimana kalau Aku benar-benar mati akibat kejadian ini?”

Si Nini menyilangkan tangan di dadanya, “Ya, itu urusanmu! Aku bukan Tuhan, yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang.” Si Nini mengatakan kalimat itu dengan santai dan acuh.

“Tapi kalau Aku mati tertimpa pohon ini, semua karena ulahmu!” Teriaknya dengan sehat, seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Sambil jarinya menunjuk ke arah muka Nini.

Nini memasang wajah jengkel, “Bicaralah yang sopan ketika menghadapi orang tua!” Tangan si Nini menggampar pipi Si Pemuda,

“Plakk!” Si Pemuda terhempas kencang akibat menerima serangan itu, tubuhnya terseret di tanah dan menciptakan bekas lintasan pada ranting dan rumput liar. “Bukk!” Sebuah pohon menghentikan laju tubuhnya.

“Nini! Bukankah ini saatnya Anda membiarkan Aku keluar dari hutan ini?” Si Pemuda, yang berada dibelakang Nini ketika mereka sedang sama-sama berjalan menelusuri hutan. Sementara Nini hanya terus berjalan, tanpa terlihat sedikitpun untuk menghiraukan perkataan dari Si Pemuda. “Aku selama ini selalu menurut, dan tidak pernah sekalipun menentang perintahmu! Sebelumnya, Anda pernah bilang kalau Aku boleh pergi setelah berumur 17 tahun. Dan juga, Anda bilang kalau sudah tidak ada lagi ilmu yang bisa diajarkan padaku.” Si Pemuda memasang wajah ragu, mulutnya terlihat bersusah payah untuk mengatakan sesuatu. “ Jadi, Sekarang Aku ingin meminta izin untuk berkelana!”

“Apa yang ingin Kamu cari di luar sana?” Mereka masih berjalan dengan tenang, di langit yang sebentar lagi menjelang gelap.

“Banyak, Aku ingin tahu seperti apa kehidupan di luar hutan ini ........”

“Lalu apa yang akan Kamu lakukan setelah berada di luar hutan?” Nini memotong perkataan Si Pemuda.

“Eh?” Dengan wajah heran.

Nini berbalik menghadap Si Pemuda, “Kalau Kamu ingin berkelana, Kamu harus punya tujuan. Aku tanya sekali lagi, apa yang akan Kamu lakukan setelah keluar dari hutan ini, Galuh?”

“Tidak tahu.” Dengan menunduk.

Lihat selengkapnya