“Itu karena Kau macam-macam dengan Kami, Bocah!” Lelaki tinggi kurus yang tangan kanannya sedang memegang pedang dengan cengkraman kuat, bermaksud menegaskan kesalahan yang sudah diperbuat Galuh. Di chapter awal sebelumnya.
Sementara Galuh tetap diam tidak bergeming ketika menerima ancaman itu.
“Ini bukan karena kami membencimu atau semacamnya. Salahkan dirimu sendiri, karena sudah menganggu Kami malam-malam begini!” Lelaki gempal, menambahkan. Meski Ia masih menyimpan rapi, pedang di dalam sarungnya.
Sementara lelaki pendek yang masih meregangkan tali busur, “Kenapa Kau tidak lari? Apa Kau sudah menyerah, karena saking takutnya? Atau karena Kau memang cukup bodoh, untuk berniat melawan Kami bertiga sekaligus?” Ancamnya, dengan penuh keyakinan.
Ketika mereka bertiga baru selesai bicara, Galuh tiba-tiba menghilang dari pandangan. Dan dengan kecepatan secepat kilat, tubuhnya berada persis di depan lelaki pendek yang sedang memegang panah. Galuh mengangkat kaki kanannya setinggi dada lelaki pendek itu, dengan memposisikan tubuhnya seperti akan melakukan tendangan salto. Ia lalu menendang busur panah yang sedang diregangkan oleh Lelaki pendek, berikut orang yang sedang memegangnya.
“Prakk! Bukk!” Patahan kayu busur terbelah menjadi dua, disusul dada lelaki pendek yang terkena serangan telak dari Galuh. Lelaki pendek itu melesat terbang, lalu badannya yang ringan tiba di depan pintu sebuah pos jaga, “Brukk!” Tubuhnya dengan mulus masuk kedalam pos jaga itu, menghancurkan pintu kayu yang berukir hiasan, tanpa sempat bisa mengucapkan izin atau salam.
Kini Galuh berdiri dengan tegap, bermaksud menebar ancaman. Meski postur badannya yang sekarang, belum cukup dewasa untuk membuat orang jadi takut atau terintimidasi. “Pergilah! Dan jangan pernah lagi, memburu hewan langka di hutan ini!” Kedua lelaki yang tersisa, hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat sebelumnya, secara langsung.
Di pintu pos jaga yang sudah rusak, seseorang dengan badan tinggi, gemuk, dan berisi, keluar dari dalam pos sambil membawa lelaki pendek yang pingsan di pundaknya. “Apa yang terjadi?” Suara berat, serak dan ekpresi wajah baru bangun tidur, mencoba masuk ke dalam pembicaraan.
“Komandan!” Seru kedua lelaki yang tersisa, keduanya langsung memposisikan badan menjadi sigap sikap sempurna.
Di tengah mereka bercengkrama, tiba-tiba ada sesosok wanita muda yang muncul dari dalam rumah jaga, tempat yang sama dengan sang Komandan berasal. Dengan rambut yang terlihat acak-acakan, Ia dengan susah payah berlari melewati Komandan, yang sedang berdiri di depan pintu. Wanita itu terlihat sangat tergesa-gesa, sambil menahan dengan satu tangan, kain kemben yang longgar di dadanya. Yang jadi satu-satunya pakaian, yang menutupi tubuhnya saat ini.
“Siapa Dia?” Galuh mengungkapkan rasa penasaran, yang terlintas difikirannya. Sementara wanita itu semakin menjauh dari keberadaan mereka, dan berlari kearah kegelapan. Suara nafasnya yang terengah-engah, terdengar jelas ketika Ia sedang menggerakkan tubuhnya, untuk berusaha lari menjauh. Karena keadaan yang sedang gelap, dan juga cara berlari wanita ini yang tidak stabil, beberapa langkah kemudian Ia terjatuh di tanah.
Komandan mengeluarkan golok, Ia lalu melempar golok itu kearah wanita yang sedang terkapar tak berdaya. “Prak!” Galuh lalu menangkap dan mematahkan golok itu menjadi dua, dengan kecepatan yang sama ketika ia mematahkan anak panah sebelumnya. Kedua patahan itu jatuh ke tanah dengan tarikan alami gaya gravitasi. Tangan Galuh yang telah digunakan untuk memecahkan golok, sekarang menggenggam tangan kosong. Dengan kepalan yang kencang, menampilkan dengan jelas saluran aliran darah yang ditunjukan oleh nadi yang timbul. Sambil tubuhnya, membelakangi arah datangnya golok tersebut.
“Apakah seperti ini cara hidup manusia diluar sireup? Pantas saja, Nini selalu melarangku keluar dari hutan. Bahkan hewan saja membunuh untuk makan. Apa bentuk kehidupan yang ada di dunia ini, sudah tidak ada harganya lagi dimata kalian?” Wajahnya menoleh, sambil menunjukan sorot mata tajam yang bagian putih matanya, sudah berubah memerah.
Komandan meletakkan tubuh anak buahnya yang berbadan pendek di lantai pos, “Itu tergantung dari siapa dirimu, atau jabatan apa yang sedang kau pegang. Wanita itu, semua keluarganya sudah dieksekusi pihak kerajaan karena tuduhan pengkhianatan. Aku hanya menyelamatkannya dari kematian, dan membawanya menjadi penghiburku di tempat ini. Harusnya Dia berterimakasih padaku!” Sambil berjalan dengan santai ke arah kedua anak buahnya yang tersisa.
“Tapi kalau Dia lari, berarti Dia tidak senang dengan perlakuanmu kepadanya. Bukankah semua manusia berhak menentukan nasibnya sendiri? Terlepas dari ikatan dosa apapun yang pernah diperbuat orang tuanya, Kalian sama sekali tidak berhak mengambil kebebasan hidupnya!” Galuh mendebat Komandan dengan sangat yakin.
“Hahahahaha!” Komandan tertawa lepas, disusul anak buahnya yang menunggu beberapa detik setelah sang tawa Komandan pecah. “Baru kali ini Aku bertemu orang yang polos sepertimu. Dimana selama ini Kau menghabiskan hidupmu, bocah?”