Sinaran ultraviolet yang waktu itu masih dinamakan cahaya mentari pagi, mulai terpancar di sela mega yang membentang di luasan cakrawala. Menelisik diantara dahan dan ranting, menyinari daun yang mulai meneteskan embun, dan membangunkan makhluk hidup yang berdiam diantaranya. Memperlihatkan warna sebenarnya dari alam, yang sebelumnya hanya tertera hitam putih.
Di sela lembah yang tersembunyi, sekelompok orang terlihat sudah dengan sengaja melakukan aktifitas saling mengadu senjata. Atau bisa dibilang, itu hanyalah satu orang yang sedang melawan bentuk Chakra yang bisa memperbanyak dan menggandakan diri.
Galuh, Si Pemuda yang sedang dibicarakan ini. Lelaki yang sedang memegang golok dan mengayunkannya secara bebas, kepada musuh yang hanya berupa gumpalan awan hitam. “Baru pagi, ternyata. Waktu masih panjang rupanya.” Sabetan tongkat emas melewati tubuhnya, yang dapat dihindari dengan usaha minimal. Sabetan selanjutnya datang, dari perwujudan Riwa yang berbeda. Sekali lagi, Galuh dapat menghindari serangan itu dengan lancar. Tanpa hambatan apapun.
Lalu gelombang berikutnya datang, Galuh menghindari semuanya dengan melompat mundur ke belakang. Beberapa hantaman melewati bagian depan tubuhnya, beberapa lainnya hanya bertumbuk mengenai tanah, sisanya masih bisa dihindari dengan usaha yang tidak terlalu sulit. “Brukk” Galuh tiba-tiba ambruk di tanah, tubuhnya telentang dengan pandangan menghadap ke atas, dengan kaki kanan yang lurus seperti ditarik oleh sesuatu. “Rantai chakra! Sejak kapan Ia mengikatkannya padaku?” Setelah Ia melihat pergelangan kakinya dengan mata batin. “(Mungkin pada saat Kita beradu senjata tadi, ada jeda sekitar beberapa detik. Ya, pasti Dia mengikat rantai ini pada saat itu.)” Rantai yang mengikat Pemuda itu meregang dengan tegak lurus, menghadap ke arah dimana mereka beradu senjata sebelumnya.
Ayunan tongkat datang mengarah pada kepala Galuh, dengan reflek Ia menyerang bayangan itu dengan hentakan aura biru, seperti yang ditunjukan Nini pada saat menghancurkan pohon di chapter awal lalu. Bayangan itu langsung menghilang seketika, tapi bayangan selanjutnya datang dan menyerang dengan cara yang sama. Galuh tetap menyerangnya dengan hentakan aura biru, karena Ia tidak mungkin bisa menghindar ketika sedang terkapar di tanah.
Galuh lalu menghentakan sikut tangan kirinya ke tanah, untuk mendapatkan momentum dan membuat tubuhnya bisa berdiri. Lalu Ia memasang kuda-kuda di tanah, dengan maksud menghindari semua serangan dari para Riwa, yang sedari tadi tidak berhenti melayangkan serangan padanya. Sayangnya para Riwa itu sudah terlanjur bertambah banyak, dan membuat ruang gerak dari Galuh menjadi semakin sempit. “(Dia tidak memberi kesempatan untuku melepas rantai ini. Yang sayangnya butuh waktu agak lama, karena Aku buruk dalam pelafalan mantra.)”
Gelombang serangan lanjutan segera tiba, kali ini para Riwa itu mengeluarkan semua anggota yang Ia punya untuk menyerang Galuh. Para Riwa ini mengepung dan mengelilingi Galuh dari berbagai penjuru, karena mereka tahu Galuh tidak bisa lari lagi. Ramai dan padatnya serangan pasukan Riwa, bisa diibaratkan seperti sekelompok infantri yang sedang berperang. Setiap pergerakan mereka tersusun dengan sangat rapi, seperti digerakan oleh sebuah rantai komando dari Jenderal yang hebat.
Galuh memposisikan tubuhnya menjadi sikap sempurna, merapatkan kedua kakinya, dan mengepalkan kedua tanganya. Ia lalu memposisikan tangan yang mengepal itu untuk saling meninju di depan wajahnya, sejajar dibawah antara dagu dan leher. Aura biru keluar dari tubuhnya, lalu membentuk lingkaran seperti kubah tulah yang diperlihatkan kedua prajurit sebelumnya.
Pasukan Riwa mulai mendekati kubah energi itu, Galuh yang bagian hitam matanya sudah memutih, meninju kedua tangannya ke arah tanah. Kubah energi itu menghempas seperti gelombang ledakan, menyapu para Riwa dan menghancurkan apapun yang terkena hempasannya. Menciptakan kabut gelap berdiameter sekitar 50 meter, yang perlahan memudar tersapu angin dan hanya menyisakan Galuh yang berdiri ditengahnya. Tidak ada lagi yang tersisa dari bekas ledakan itu, baik itu pepohonan, ataupun tanah yang kini tandus seperti bekas penebangan liar. Galuh lalu terjatuh, satu tangannya menahan ke atas tanah untuk mencegah dirinya dari terkapar. Nafasnya berpacu dengan cepat, matanya sudah kembali menghitam dan menunjukan kelelahan, ekspresi wajahnya memucat.
Satu-persatu Riwa yang tidak terkena ledakan muncul dari ujung lingkaran, di batas antara wilayah yang terkena ledakan dan yang tidak terkena gelombang dari Galuh. Jumlahnya mulai memenuhi ujung lingkaran itu, dan mereka mulai berjalan lagi ke arah Galuh berada. “Si brengsek ini tidak ada habisnya!”
“Dhuar!” Sebuah ledakan mucul, dari salah satu sudut barisan para Riwa yang sedang berjalan. Ledakan itu menghancurkan sepasukan Riwa yang ada disekitarnya. Lalu ada beberapa Riwa lain yang terbuat dari daun, muncul dari arah hutan setelah asap ledakan itu menghilang. Mereka langsung bertarung dengan Riwa yang terbuat dari asap hitam menggunakan golok.
“Kenapa lama sekali?” Galuh berkata pada Nini, yang tiba-tiba muncul dan sedang berjalan di belakangnya.
“Masih mengandalkan Aku? Kukira, Kau kabur itu karena sudah tidak lagi membutuhkan Aku. Dan lihat tempat ini! Kacau sekali disini. Sudah kubilang, kalau ilmu yang kuajarkan itu adalah soal mengalahkan musuh dengan elegan, tanpa menimbulkan kerusakan pada benda ataupun makhluk hidup lain. Apa Kamu seterdesak itu, sehingga terpaksa harus menggunakan ajian Rapal! Dasar bodoh!” Nini mengejek Galuh dengan nada angkuh.
“Itu karena Nini tidak memberitahu Aku, kalau ada musuh yang seperti ini di dunia luar!” Sambil memegang rantai yang tengah membelenggu kakinya.
“Kalau Kau tahu semuanya, maka tidak akan ada lagi yang namanya tantangan di dunia ini! Masa seperti itu aja Kau tidak mengerti. Payah!” sambil berdiri berkacak pinggang, tepat di belakang Galuh.
“Nini, apa Anda itu termasuk salah satu dari 12 pendekar?” Dengan nada serius.
Nini terkejut dengan perkataan itu, “Darimana Kau tahu tentang itu?”