GALUH

Herlan Herdiana
Chapter #5

KUJANG ARUNDRA

Disebuah sudut diantara gelap lembah hutan, terpancarkan cahaya remang yang berasal dari pijar obor, yang tergantung dan menyebar di sudut-sudut rumah dan pagar benteng yang mengelilinginya. Rumah kayu bergaya khas Jawa Barat itu mempunyai genteng terbuat dari tanah merah, dengan bentuk mengerucut yang dikenal sebagai joglo. Dengan halaman yang luas dan pagar yang terbuat dari susunan batu, yang mengelilingi tempat itu.

Disebuah ruangan didalam rumah itu, Galuh hanya berdiri sambil menunjukan ekspresi keheranan, ketika Nini sedang sibuk mencari dan memasukan beberapa gulungan perkamen kedalam tas slempang yang terbuat dari kulit. Dibeberapa detik setelah mereka berdua masuk ke dalam rumah mereka, tanpa pergi dulu ke dapur untuk mengambil minum. “Nini, Kita mungkin bisa duduk dulu sebentar. Sebelum Anda melakukan... apapun itu, Aku tidak mengerti. Karena kita habis bertarung seharian tadi! Dan Anda mungkin lelah!”

Nini malah membentak Galuh, “Tidak ada waktu lagi! Sebentar lagi, tempat ini akan dikepung!” Nini lalu merekatkan lubang tas slempang, dengan rangkaian besi yang dibentuk seperti fungsi kancing yang nantinya bisa untuk dilepas kembali. Terlihat rumit namun tidak ada pilihan rekatan lain lagi, karena pada saat itu teknologi resleting belum ditemukan.

Galuh semakin heran, “Apa yang membuat Anda begitu penting? Sehingga banyak orang yang mengejar Anda, dan membuat Kita bersembunyi di tempat ini?”

Nini memberikan tas slempang pada Galuh, yang menerimanya dengan masih terlihat heran. “Yang dicari mereka itu bukan Aku, bukan juga Kamu, atau tempat ini!” Galuh tambah heran, “Kamu tahu pusaka tongkat emas yang kita hadapi tadi? Itu adalah salah satu dari beberapa jenis pusaka sakti, yang tersebar di negara ini. Dan Kamu bisa tebak, Aku punya salah satunya!” Galuh menunjukan rasa kagum, “Dan yang lebih hebatnya lagi, Aku akan memberikannya kepadamu! Bersiaplah!”

Galuh memakaikan tas slempang dengan terburu-buru, dengan ekspresi sangat antusias. “Aku siap!” Dia lalu berlutut dan menengadahkan kedua tanganya ke atas, sambil menundukan kepalanya seperti akan menerima pedang kehormatan dari bangsawan.

Nini lalu melakukan beberapa gerakan silat dengan kedua tanganya, dan memunculkan sebuah gumpalan asap kecil di depan Galuh. Lalu Pusaka yang diharapkan itu muncul, dengan masih dikelibuti oleh asap tebal yang menyelimutinya. Nini lalu memberikan pusaka itu dan meletakanya pada tangan Galuh.

“Nini? Tanganku mulai pegal, bisakah Anda memberikan pusakanya sedikit lebih cepat?” Galuh masih menundukan kepala.

“Aku sudah memberikanya kepadamu.” Dengan nada datar.

“Ya, Aku memang merasakan sesuatu di tangan kananku! Tapi ini nampaknya terlalu ringan, kalau untuk disebut sebagai senjata yang sakti!” Di tangan kanan Galuh, ada sebuah kujang kecil yang berukuran sekitar lima jari yang disarungi dengan kulit berwarna biru tua.

“Tidak ada yang bilang itu senjata, Aku bilang itu adalah sebuah pusaka!”

Galuh menaikan kepalanya, dan melihat kujang itu dengan kedua matanya secara lebih dekat. “Nini, bagaimana caranya Aku mengalahkan musuh dengan ini?” Galuh lalu memegang gagang kujang dengan dua jarinya, dan membuka sarung dari kujang itu. Galuh sedikit meninggikan suaranya, “Ini terlihat begitu rapuh! Aku bahkan tidak tega, walau menggunakanya hanya untuk memotong bawang sekalipun!”

Nini hanya menjawab dengan malas, “Jangan banyak protes! Biar begini, pusaka itu banyak dicari dan diburu oleh orang-orang! Sekarang cepat sembunyikan pusaka itu di dalam tubuhmu!”

Latar berpindah di luar rumah, di halaman luas yang terdapat sebuah kolam ikan kecil dan beberapa boneka kayu yang digunakan untuk latihan beladiri. Disana Nini sedang mengumpulkan daun-daun kering dengan menggerakan daun itu seiring gerakan tanganya, untuk membentuk beberapa Riwa yang dibentuk menyerupai dirinya. Para Riwa itu lalu menyebar dan berjaga di atas pagar-pagar, yang mengelilingi rumah adat tempat tinggal Nini dan Galuh.

Galuh keluar dari Rumah, dengan persiapan seperti akan pergi jauh dan tidak akan kembali. “Nini, Aku siap untuk pergi! Apa Aku perlu membuat Riwa juga? Untuk membantu mereka memperlambat musuh yang mengejar Kita.”

“Itu tidak perlu! Karena nanti warna chakramu bisa terlacak. Kamu langsung pergi saja ke arah utara, dan keluar dari hutan ini!” Nini masih serius membuat beberapa Riwa lagi.

“Berarti mereka bisa melacak warna chakra Anda juga?” Dengan nada heran.

Nini membentak Galuh, “Karena Aku tidak akan pergi, Bodoh!”

Galuh semakin heran, “Apa maksud Anda? Kita bisa pergi sekarang! Sebelum mereka datang kesini!”

Nini tertawa kecil, “Haha.. Waktuku sudah habis anak muda. Aku sudah terlalu banyak menggunakan chakra dan jurus terlarang. Tubuhku sudah tidak kuat untuk keluar dari hutan ini, dan Aku akan mengakhirinya di tempat ini bersama dengan sisa chakra yang Aku miliki. Kalau Aku pergi, Aku hanya akan memperlambat jalanmu.”

“Kalau begitu biarkan Aku bertarung bersamamu!” Galuh berusaha dengan meyakinkan.

“Bahkan jika Aku bekerja sama denganmu di kondisi Kita yang sekarang, Kita tetap tidak akan bisa mengalahkan mereka! Kamu harus mengerti, kalau kekuatan dan stamina Kita pasti ada batasnya.”

Lihat selengkapnya