GALUH

Herlan Herdiana
Chapter #7

PUTRI LEMBAYUNG

Iringan kereta kencana bergerak cepat diatas jalanan tanah disebuah hutan yang rimbun, lalu beberapa prajurit berkuda yang memakai pakaian perang dan senjata lengkap, menjaga dan mengiringi iringan kereta kencana itu.

Seorang lelaki paruh baya dengan kumis tebal dan pakaian perang mewah, yang berada di barisan paling depan memanggil salah satu prajurit yang berkuda di belakangnya dengan isyarat tangan, untuk berpindah sejajar denganya. Prajurit itu mengerti dan menuruti titah dari lelaki itu.

“Sebentar lagi Kita akan sampai di ibukota! Turunkan kecepatan!” Titahnya, dengan penuh wibawa.

“Baik, Jendral!” Prajurit itu mengerti, dan bergerak mundur ke arah kusir yang sedang bekerja di barisan belakangnya.

Sementara di dalam salah satu kereta kencana, seorang gadis muda yang sebelumnya ditemui dan diintip oleh Galuh, sedang duduk sambil tertidur pulas sendirian. Dengan masih memakai kebaya ,mahkota dan dandanan yang sangat menawan. Yang sepertinya, kalau dengan dandanan seperti itu Ia seharusnya tidak ketiduran di dalam sana.

“Bruk!” Tiba-tiba kereta melambat dengan cepat, hal itu lantas membuat gadis muda yang sedang terlelap terhentak lembut ke arah depan. Ia langsung terbangun dan merasa bingung.

Dari luar terdengar teriakan berat seorang prajurit yang menyampaikan informasi. “Ibukota sudah sampaaai!” Dengan nada yang sengaja dimerdukan, seperti sedang bernyanyi seriosa.

Gadis muda itu lalu mencari cermin, di sekitar kotak-kotak peralatan yang terletak dibelakang kursi. Ia lalu berkaca untuk memperbaiki riasan dan juga posisi rambutnya yang terurai, sehabis ia tidak sengaja ketiduran tadi.

Gerbang gapura kota mulai terlihat dan berdiri kokoh, dengan penjagaan ketat dari prajurit-prajurit yang berdiri di sekelilingnya. Iringan kereta kencana itu lalu memasuki gerbang, dengan lancar tanpa ada halangan birokrasi apapun. Para penduduk berdiri berjajar menyambut iringan itu, sambil tidak henti meneriakan nama ‘Putri’ dengan penuh haru. Sementara si gadis muda, hanya bisa mengintip kejadian itu dari lubang jendela kecil yang ada di dinding kereta.

Semakin jauh kereta berjalan, semakin bagus juga bangunan yang berdiri di sekeliling jalan utama yang dilaluinya. Hingga puncaknya iringan itu tiba pada sebuah gapura, yang kokohnya hampir sama dengan gerbang kota. Dengan prajurit jaga yang lebih banyak dari gerbang kota sebelumnya.

Kereta lalu berhenti di sebuah bangunan megah, di depanya sudah menyambut beberapa orang yang memakai pakaian adat mewah dan aksesoris emas perak yang membalut tubuh mereka. Jendral yang memimpin iringan, berjalan kearah kumpulan orang itu. Ia lalu berlutut di depan mereka, “Kami sudah mengantar Putri dengan selamat!” Ucapnya, dengan penuh wibawa.

Seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang menjadi pusat kerumunan di depan bangunan mewah, berjalan menghampiri Jenderal. “Kalau begitu, tugasmu sudah selesai! Kamu bisa kembali ke garis depan!” Lelaki berbadan besar dan gempal itu menitip titah pada Jendral.

“Baik, perdana menteri!” Jenderal lalu berdiri dan berjalan mundur. Ia lalu membuka kunci pintu dari kereta kencana yang dijaganya, yang disana ada gadis muda tadi yang sedang duduk dan menunggu.

Perdana menteri menghampiri pintu kereta kencana, Ia lalu memberikan tangan kananya pada gadis muda itu, yang lalu disambutnya dengan ramah. Gadis muda itu turun dari atas kereta, dengan dituntun oleh tangan perdana menteri yang bermaksud menjaganya.

“Apa ritual penyucianya berjalan lancar?” Tanya perdana menteri. Setelah itu mereka berdua mulai berjalan diantara kumpulan orang-orang yang memberi mereka penghormatan dengan cara menundukan kepala.

Putri yang memakai kebaya dan juga selendang merah yang melilit di perutnya, berjalan dengan anggun sambil tanganya dipegang dengan lembut oleh perdana menteri. “Ritualnya berjalan dengan lancar...” Perkataan putri terhenti, karena teringat kejadian tentang Galuh yang mengintipnya. “Tidak ada halangan apapun yang terjadi.” Putri mencoba melupakan kejadian itu, dengan tidak mengatakanya pada siapapun.

“Kalau begitu bagus!” Mereka mulai menaiki anak tangga, untuk masuk kedalam pintu bangunan megah yang tampaknya adalah sebuah istana. “Apa Putri perlu sesuatu? Sebelum Hamba pergi dan melanjutkan pekerjaan, mungkin Hamba bisa untuk mengusahakanya!”

Setelah mereka berdua ada di dalam istana, Putri melepaskan tangan dari perdana menteri dengan halus.

“Nampaknya untuk saat ini tidak ada, Perdana menteri! Aku mau pergi ke kamarku untuk beristirahat.” Dengan sopan Putri menolak anjuran perdana menteri.

Lihat selengkapnya