Galuh masih tidak habis fikir dan mempertanyakan, bagaimana bisa gadis yang Ia bayangkan lebih muda darinya membicarakan hal dewasa seperti pernikahan. “Mohon maaf sebelumnya, Putri! Berapa usia Anda saat ini?”, tanpa fikir panjang Galuh menanyakan rasa penasaranya secara langsung.
“14 tahun. Memangnya ada apa, Galuh?” Putri merasa heran,
Galuh tanpa sadar berteriak, “14 Tahun? Apa itu tidak terlalu muda?”
“Kenapa? Itu usia yang wajar, ko! Setiap gadis pasti sudah dipilihkan jodohnya ketika usia 9 tahun.”
Pernyataan dari Putri semakin membuat Galuh keheranan, “Dipilih? Jadi Kita tidak bisa memilih dengan siapa Kita menikah?”
“Ia, tentusaja. Lalu berapa usia Kamu sekarang?”
“17.”
“Tentu Kamu sudah punya istri kan?” Putri tidak bercanda ketika menanyakan ini.
“Tunggu sebentar, Putri!” Dengan gestur tangan menghentikan, “Aku tidak pernah tahu kalau budaya perjodohan disini seperti itu. Aku belum pernah menikah, bahkan Aku tidak kenal dengan wanita lain selain Anda. Dan jika boleh jujur, Anda adalah wanita pertama yang kuajak bicara selain Nenekku.”
Sekarang giliran Putri yang merasa heran, “Jadi seperti itu? Kalau begitu apa Kamu mau Aku carikan istri? Disini banyak gadis bangsawan berusia dibawah 9 tahun. Kamu tinggal bilang tipe gadis yang kamu sukai seperti apa padaku!”
Galuh merasa terhipnotis dengan tawaran Putri, “Boleh!”. Kemudian Ia tersadar dan kembali pada realita, “Tidak! Ini bukan saatnya mencari pasangan untuk menikah. Putri! Kalau Aku boleh tahu, Anda akan menikah dengan siapa?”
“Perdana Menteri!”
Galuh berteriak lagi, “Apa? Perdana Menteri? Bukankah Dia sudah terlalu tua? Apa yang Anda lihat dari dirinya?”
Putri marah dengan pertanyaan yang dilontarkan Galuh, “Itu tidak sopan!” Galuh tertegun dengan kata dari Putri. “Sebagai seorang Putri Raja, Aku harus mematuhi adat yang sudah turun temurun terjadi pada budaya Kita. Soal Aku menikah dengan Perdana Menteri, tentu saja bukan karena keinginan dariku semata. Aku harus melakukanya demi menjaga kelangsungan dari negara ini. Karena sekarang hanya Dia yang punya kapasitas untuk meneruskan dan mempertahankan negara ini dari serangan negeri seberang.”
Galuh melamun sejenak, “Apa Anda punya keinginan untuk menjalani takdir Anda sendiri? Maksudku, Anda seorang Putri Raja. Apa Anda tidak punya wewenang sedikitpun? Bahkan untuk memilih nasib Anda sendiri?”
Putri terlihat semakin marah. “Aku tidak tahu soal nasib atau takdir seperti yang Kamu bicarakan. Aku hanya menjalani apa yang harus Aku lakukan, karena cuma itu yang Aku tahu!”
Suasana lalu hening. Perdebatan itu nampaknya sudah sampai pada puncaknya, jika dilanjutkan maka hal yang selanjutnya terjadi akan sulit untuk diprediksikan.
“Maafkan Aku!” Galuh mengerti dan berusaha mengalah.
Putri hanya terheran mendengar permintaan maaf yang tidak terduga itu.
“Aku janji tidak akan mengungkit lagi masalah jodoh atau pernikahan Anda lagi!” Lanjut Galuh, menambahkan.
Sekarang Putri bisa tersenyum, “Terimakasih!” Perlahan perasaanya mulai lega, sehabis dipacu akibat perdebatan tadi. “Jadi, Kamu mau mencari gadis yang seperti apa?” tanya Putri, memecahkan keheningan akibat kekosongan pembicaraan.
Galuh merasa cemas, “Kalau soal itu, nampaknya Aku harus menolaknya Putri! Aku belum siap untuk menikah.”
“Seperti itu. Kalau begitu maafkan Aku!”, berusaha untuk menunjukan pengertian.
Di tengah suasana yang mulai cair, Galuh tiba-tiba melihat kearah langit dan memperhatikan keadaan sekitar. “Nampaknya Aku harus segera pergi, Putri!” pintanya, dengan tergesa-gesa.
“Ada apa?” Sambil keheranan dengan sikap yang tiba-tiba berubah dari Galuh.
“Persediaan makananku sudah habis Putri. Aku harus mencari hewan buruan di hutan! Suasananya sedang bagus.”
Putri merasa lega dengan jawaban Galuh, “Kukira ada apa?”. Disini Putri mulai khawatir dengan perpisahan yang akan terjadi, karena Ia tidak tahu kapan bisa bertemu lagi dengan Galuh. “Kamu biasa berburu hewan apa?” Putri mencoba mengulur waktu.
“Apa saja yang bisa Aku temui, tapi paling banyak Aku temukan itu Kelinci!”
“Kenapa Kamu tega makan Kelinci?”
“Memangnya tidak boleh?” Sedikit heran.