Hari ini, usiaku tepat 25 tahun.
Aku sudah bukan remaja labil yang sifatnya kekanakkanakan. Bukan lagi remaja yang baru saja dilanda kasmaran. Bukan lagi remaja perempuan yang sangat senang mengintip anak sulung tetangga depan rumah yang tampanitu. Aku perempuan yang sudah dewasa. Sudah tahu bahwa percintaan remaja hanyalah bagian terlucu dan imut dari sisi kehidupan manusia.
Aku ingat ketika memasuki usia 20 tahun dulu bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Pola pikirku semakin meningkat dan jika aku melihat pasangan mu-da-mudi yang sedang kasmaran, aku akan tersenyum geli dan membisikkan sesuatu kepada seseorang yang selama ini aku cintai, “Lihat, deh. Kayak kita enggak, sih, dulu?”
Kalian tahu tidak bahwa aku dan dia pernah putus? Pernah. Jika kalian berpikir aku putus dengannya karena permainan itu, kalian tak sepenuhnya salah, tapi kurangtepat. Aku dan dia pernah putus karena Papa tak merestui hubungan kami.
Putus selama bertahun-tahun. Menyesakkan? Ya, tak perlu bertanya. Aku menangis tiap malam hanya karena dia muncul di pikiranku, sementara aku tahu, dia dan aku terpisah jarak karena pendidikan. Aku terus dibayangi, “Diapasti sedang didekati oleh seorang cewek yang sempurna.”
“Halo, Ma?” sapaku pada Mama yang baru saja meneleponku di seberang sana. “Iya, ini lagi siap-siap. Bye.”