BRUM .... BRUM .... BRUUUM ....
Suara motor Kak Sean! Pasti dia sedang memanasi mesin. Aku keluar dari kamar dan berlari kencang, tanpa sadar menabrak meja di dekat dinding.
“HUA, SAKIT!” teriakku refleks sambil melompat-lompat memegang tulang keringku. Aku berjalan tertatih-tatih menuju teras rumah sambil meringis kesakitan.
“Vera? Ada apa, sih?” teriak Mama dari dalam. Ugh! Aku tidak sanggup membalas dan fokus pada teras.
Saat sampai di teras itu, Doni—adik laki-laki paling menyebalkan sedunia—menatapku sambil berkata, “Mulai lagi, deh. Biasa, Ma. Lagi ngintipin kakak yang di depan.”
“Doni!” Aku memelotot padanya. Dia memalingkan muka dan kembali memakai kaus kakinya. “Bisa diemenggak, sih? Enggak usah ikut campur urusan Kakak.”
Aku berdecak kesal dan berjalan ke dekat pilar beranda rumah. Dari sini, aku sudah bisa melihat dengan jelas apa yang sedang Kak Sean lakukan di halaman rumahnya. Dia sedang menarik gas dan rem secara bersamaan dan berulang-ulang. Suara itu memang sedikit mengganggutetangga, tapi itu sudah menjadi kebiasaan Kak Sean sejak aku masih seorang murid SMP kelas VIII.
Aku mengenal Kak Sean dua tahun lalu saat aku dan sekeluarga baru pindah di kompleks perumahan ini. Saat melihat Kak Sean pertama kali, ada keinginan untuk terus melihatnya. Berbeda dengan Papa, yang sangat tidak suka dengan kelakuan Kak Sean karena senang membunyikan motornya pagi-pagi buta. Kata Papa, anak tetangga sebelah‘‘berandal’’ dan ‘‘nakal’’. Papa menyuruh Doni untuk jauhjauh dari Kak Sean.
Tapi, kenapa Papa tidak menyuruhku jauh-jauh dari Kak Sean? Ya, jelas. Aku, kan, anak cewek. Mana mungkin main sama anak cowok kayak Kak Sean.