GAME OVER

Gemi
Chapter #4

3. Haebaragi.

Korea Selatan. Seoul, musim dingin yang menggigit.

Boots.

Mantel bulu.

Mantel oversize yang berwarna pastel.

Mantel panjang motif abstrak yang colorful.

Hot pants dipadukan dengan stoking bercorak kucing.

Hanbok cantik yang bergaya modern.

Oh, syal motif jerapah!

Mataku menangkap pemandangan para pejalan kaki di jalanan sekitar melalui teropong yang kuciptakan dengan menggunakan kedua tangan.

Saat ini menjelang siang, kerumunan orang memadati jalanan salah satu kawasan perbelanjaan di Kota Seoul ini. Myeong-dong pada minggu pertama bulan Januari masih menyuguhkan gairah tahun baru yang segar. Meski telah menghabiskan waktu duduk di pesawat nyaris sembilan jam dengan kondisi tidak benar-benar bisa terlelap, begitu menginjakkan kaki di sini, rasa lelah akibat perjalanan itu pun bisa menguap ke udara.

Aku melangkah santai di antara kerumunan, menikmati pemandangan orang-orang berlalu-lalang di jalanan yang diselimuti serpihan tipis salju putih. Penampilan setiap orang terlihat modis, tak sedikit yang mengenakan pakaian bermerek ternama dan menjinjing tas bermerek juga. Orang-orang seperti campur aduk di keramaian, warga setempat dan para turis dari berbagai negara. Beberapa berjalan sambil melihat-lihat sekeliling dan bercakap-cakap dengan teman di samping mereka, beberapa lainnya yang berjalan sendirian dengan langkah-langkah cepat sedang berbincang dengan seseorang di ponsel atau hanya melangkah sambil fokus pada jalanan di depan.

Sesekali kuarahkan teropong tangan ke beberapa poster iklan kosmetik dan pakaian musim dingin yang memamerkan wajah-wajah cantik dan tampan para idola K-pop, terpampang sangat besar dan jelas di beberapa bangunan sekitar. Di saat yang sama telingaku dengan nyaman menikmati musik yang terdengar dari kedai kopi dan pertokoan yang berderetan di kiri-kanan jalan, setiap tempat memperdengarkan musik yang berbeda-beda.

Kemudian, perlahan hidungku mulai tidak tahan oleh harum makanan. Gurih, manis, pedas. Aroma makanan lezat menggelitik hidung dan membuat perutku berbunyi.

“Ah, lapar ...” Aku menurunkan teropong tangan dari depan mataku dan memegang perut sembari mengembuskan napas membuat udara menguar dari mulutku seperti asap.

Aku benar-benar di sini. Lagi.

Rasanya seperti baru kemarin kutinggalkan kota ini, lalu kembali. Waktu berlalu lebih cepat dari yang kukira. Terakhir kali aku berada di tempat ini saat liburan sekolah, tujuh tahun yang lalu. Aku ingat, saat itu berlibur ke sini bersama Papa. Sekarang aku kembali sendirian dan hanya membawa pakaian yang melekat di badan—t-shirt, sweater, syal, mantel, rok mini berpotongan flare, stoking dan ankle boots—serta sebuah tas selempang yang berisi tidak banyak barang namun sangat penting.

Angin dingin menyusup ke dalam mantelku. Segera kurapatkan mantel sambil terus berjalan. “HUATSYIII!” Aku bersin dengan cukup keras. Ah, cuaca dingin ini membuatku ingin mendengkur di dalam selimut.

Aku mempercepat langkah—berjalan cepat-cepat akan membuat tubuh menjadi lebih hangat. Kulewati pohon yang telah kehilangan daunnya, sebuah mobil patroli Polisi yang parkir di pinggir jalan, seorang pengendara motor yang melaju pelan di antara para pejalan kaki, orang-orang yang berdiri di tengah jalan dengan pembicaraan masing-masing, maskot berkostum panda yang memanggil pengunjung di depan sebuah toko, penjual makanan yang menjual jajanan menggiurkan di tengah jalan, toko-toko yang memperdengarkan musik asyik, serta deretan barang-barang cantik yang menggoda pejalan kaki untuk berhenti dan membeli.

Kuabaikan semua yang menggodaku untuk berfoya-foya. Aku berada di Myeong-dong sekarang bukan untuk berwisata kuliner atau berbelanja. Aku berada di sini hanya untuk menuju ke tempat itu.

“Ah, itu dia!”

Aku berlari ke arah bangunan pertokoan yang berderetan dengan tampilan eksterior berbeda-beda, masing-masing bangunan amat menyolok dan menarik perhatian. Kuhentikan langkah di depan bangunan berwarna hitam-ungu. Letaknya berimpitan dengan toko sepatu berdinding hitam-putih yang terlihat elegan dan toko kosmetik berdesain eksterior seperti rumah boneka yang serasi memadukan warna merah muda-krem.

Sunflower, ditulis dalam ukiran huruf berwarna kuning cerah di dinding berwarna hitam, di atas kanopi bercat ungu yang melengkung memanjang menaungi pintu dan jendela etalase. Sebuah bangunan tiga lantai. Dari arah luar para pejalan kaki bisa melihat bagian dalam lantai pertamanya dengan jelas melalui pintu dan jendela kaca besar yang jernih, memperlihatkan desain interior artitistik dan nyaman dengan langit-langitnya yang tinggi, penataan beberapa perabot bergaya retro, serta warna dinding dan cahaya lampu yang memberi kesan hangat. Sementara lantai dua dan tiga hanya memperlihatkan jendela kaca besar yang hitam mengilat, memantulkan pemandangan langit dan bangunan di depannya. Sebuah bangunan yang tampak eksotis dibandingkan toko-toko lain di sekitarnya, disebabkan oleh sentuhan Bali di pintu masuknya, sebuah pintu kaca dibingkai kayu dengan ukiran Bali bernuansa alam yang elegan memperlihatkan ukiran bunga-bunga teratai dan burung bangau, serta sebuah kursi kayu yang berada di sebelah kanan pintu masuk amat menyolok dengan pahatan tiga dimensi yang memperlihatkan gajah-gajah dan pepohonan.

‘Kursi itu masih terlihat cantik.’ Aku menepuk kursi berwarna cokelat mengilat yang terawat dengan baik itu sebelum melangkah masuk ke dalam toko.

“Eoseo oseyo." (Selamat datang). Seorang bocah perempuan bertubuh gempal dan berambut hitam panjang yang mengenakan bando mutiara di kepala, menyambut di depan pintu. Menyapa dengan senyuman lucu, memperlihatkan dua gigi depan yang menonjol seperti kelinci. Setelah menyapa, ia berlari kecil ke arah tangga dan mendongak ke lantai dua sambil berteriak dengan suara mungilnya. “Mama, ada pengunjung!” katanya dalam bahasa Indonesia yang lancar.

Tak lama, seorang perempuan turun dari lantai dua. Perempuan langsing berambut gelap dan berkulit cerah. Ia tersenyum hingga matanya tampak seperti bulan sabit saat menyapa dengan ramah—seperti yang selalu dilakukannya kepada semua pengunjung yang melangkah masuk ke tempat ini. “Selamat datang,” katanya dalam bahasa negera setempat, “Silakan melihat-lihat yang Anda perlukan.”

 Kedua ujung bibirku terangkat naik dan kulangkahkan kaki menuju ke suatu dinding di sudut toko dimana aku—atau siapa pun yang mengunjungi tempat ini—akan selalu betah berdiri berlama-lama.

“Ah, dinginnya.” Seorang pria yang mengenakan mantel cokelat tiba-tiba muncul di pintu. “Papa pulang,” ucapnya, membuat perhatian perempuan itu dan gadis kecil tadi teralihkan kepadanya.

“Papa!” Si Gadis Kecil berlari menyambut pria itu dengan riang. “Wah, banyak makanan. Papa membeli banyak makanan!” ia berkata sembari mengintip ke dalam bungkusan-bungkusan yang dibawa oleh pria bermantel cokelat itu.

“Papa membeli semua yang Tuan Putri suka.” Si Pria Bermantel Cokelat tersenyum lebar sambil menyerahkan semua bungkusan yang dibawanya kepada Si Gadis Kecil.

“Tuan Putri?” Gadis kecil itu cemberut. “Penyihir Cantik! Bukan Tuan Putri!”

“Oh?” Si Pria Bermantel Cokelat tertawa. “Baiklah. Baiklah Penyihir Cantik …”

“Hihihi …” Gadis kecil itu nyengir, lalu sibuk dengan beberapa bungkusan makanan yang langsung dikuasainya dengan bersemangat. “Wah, bungeoppang, tteokbokki, gungoguma, twigim, odeng, gyeranppang, hotteok—” Gadis kecil itu menyeruput air liur setelah mengamati makanan apa saja yang dibawa untuknya.

“Yeobo, kenapa membeli jajanan sebanyak itu?” Perempuan itu protes. “Kamu mau membuat putriku jadi gemuk. Dia sudah segemuk itu …”

“Ayolah, putrimu masih cantik walaupun kurus atau gemuk. Lagipula, dia ‘kan tidak gemuk.”

Perempuan itu mengembuskan napas. Pria itu—suaminya—sangat memanjakan putri mereka, sementara ia tidak mendidik putrinya untuk menjadi manja. “Belikan saja semua yang dia mau …”

Si Pria Bermantel Cokelat tersenyum hangat dan mengeluarkan setangkai mawar merah dari balik mantelnya, sebelum sang Istri bicara lebih cerewet. “Untuk istriku tercinta …”

“Wah, Mama dapat bunga mawar.” Gadis kecil itu cemburu. “Kenapa hanya Mama yang dapat bunga?”

“Tuan Putri juga. Ah, maksud Papa, Penyihir Cantik …” Si Pria Bermantel Cokelat mengeluarkan sebuah pena dari saku mantelnya—pena berwarna pelangi dengan hiasan bunga matahari kaca di ujungnya.

“Pena?”

“Ah, tidak. Tidak. Ini adalah tongkat sihir Penyihir Cantik. Nah, lihat ini ...” Pria itu memutar bunga matahari di ujung pena itu, memunculkan cahaya berpendar dari sana.

Warna merah, kuning, biru dan perak, berganti-gantian keluar dari bunga matahari kaca membuat pena itu berkilau-kilauan dengan cantik.

Gadis kecil itu tersenyum dengan mata membulat. “Uwhaa, yeppeuda!” (Wah, cantiknya!). Ia mengambil pena itu dan mengangguk. “Tongkat sihir bunga matahari, diterima!”

“Ada apa ini?” Perempuan itu bertanya pada suaminya dengan tatapan menyelidik, ia tahu kalau semua ‘sogokan’ itu pasti memiliki suatu maksud.

“Sebentar …” Si Pria Bermantel Cokelat menoleh ke arah pintu dan berkata pada seseorang dalam bahasa Korea, katanya: “Lee Ajeossi, silakan masuk.”

Kemudian, seorang pria paruh baya muncul. Penampilannya kumal dan tidak terawat. Ia agak bau, hingga yang berada di dekatnya mungkin akan menutup hidung karena tidak tahan.

Perempuan itu menatap suaminya dengan alis terangkat, tatapannya penuh tanya.

“Karena Lee Ajeossi sangat memerlukan pekerjaan dan tempat tinggal, jadi ...” si Pria Bermantel Cokelat menjelaskan pada istrinya, “jadi, kita bisa menambah seorang pekerja. Dengan begitu kita bisa sedikit bersantai.”

Lihat selengkapnya