Pesta ulang tahun kesembilan belas menjadi pesta ulang tahun paling gagal seumur hidup.
Akan kulupakan itu. Karena aku tidak ingin menggunakan energiku untuk mengingat hal-hal mengesalkan. Tapi …
“Nuna, Hyeong menyabotase pesta ini karena ada alasannya,” In-Su berkata, saat ia menghentikanku yang sedang berusaha meninggalkan pesta ulang tahun paling mengesalkan di belakang.
“Anak kecil tahu apa?” kataku tak peduli.
“Aku tahu.” Adik tiriku yang lebih muda empat tahun dariku itu tersenyum dan merangkul tanganku dengan manja. “Traktir aku pizza, nanti kuceritakan.”
‘Apaan, sih, ini? Merepotkan!’
Aku tidak suka keluarga tiriku. Mereka itu semuanya seperti lintah, menempel dan menghisap darah. Ibu tiriku menguras uang Papa, putra tertuanya selalu saja membuat masalah denganku, sementara putra bungsunya selalu muncul dengan suatu permintaan di segala kesempatan.
Aku sungguh tidak ingin melihat mereka. Tapi, mereka selalu memperlihatkan diri di hadapanku dan membuat ingatanku menjadi sangat baik untuk mengingat banyak hal mengesalkan.
***
Siapa yang harus kusalahkan untuk segala kemalanganku sekarang? Ibu tiri dan kedua putranya itu, diriku sendiri, nasib, ataukah Tuhan?
Tidak satu pun.
Meski ingin menyalahkan siapa saja, pada akhirnya tidak ada yang bisa kusalahkan. Karena aku tidak bisa membuang energi untuk hal seperti itu sekarang. Aku harus menyimpan banyak energi untuk melakukan segala macam usaha yang bisa dilakukan, agar kisahku yang sudah tidak keruan di usia semuda ini bisa tetap terlihat elegan dengan sedikit perbaikan. Akan kujadikan kehidupanku seperti karya seni yang menawan, tetap terlihat elegan walau bentuknya tak beraturan.
“Kalau begitu kita ketemuan di Gangnam. Di restoran …” Aku berbincang dengan seseorang di ponselku. Karena saat ini aku sedang menuju ke suatu restoran untuk bertemu seseorang yang lumayan penting, aku pun membuat janji bertemu dengan lawan bicaraku itu di tempat yang sama.
Sambil terus mengatakan hal basa-basi, aku mempercepat langkah. Angin dingin yang berembus malam ini mulai membuat pipiku terasa beku.
“Setelah makan malam, kita main keluar sampai pagi,” ujarku padanya. Dia tidak akan menolak ajakanku, aku tahu dia sangat suka menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. “Jadi ...” Masih banyak yang ingin kukatakan pada lawan bicaraku itu, namun sesuatu membuat konsentrasiku mendadak hilang hingga teriakanku pun keluar secara spontan. “AAAAAAAAAAAA!”
Tanpa sadar mulutku sudah mengeluarkan suara teriakan panik saat mataku menangkap pemandangan yang membuat jantungku hampir melompat ke jalan.
“AJEOSSI! STOP! STOP!”
Aku yakin, teriakanku pasti mengejutkan lawan bicaraku dan pasti membuat telinganya sakit sampai dia harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Tapi, aku tidak peduli. Aku bahkan lupa kalau aku sedang menelepon seseorang. Aku segera berlari kencang menuju pemandangan yang sedang kulihat beberapa depa di depan.
Seorang paman di atas kursi roda sedang meluncur lambat ke tengah jalanan sementara beberapa mobil sedang berlalu-lalang dan sepertinya tidak ada seorang pun yang menyadari kejadian yang tak terduga itu kecuali aku yang berada paling dekat dengan si Paman.
Aku berlari menuju ke arah si Paman dan menarik kursi rodanya kembali ke pinggir jalan dengan sekuat tenaga. Aku bahkan sampai kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang.
“Oh, ya ampun!” Aku bangkit dan merangkak cepat ke depan si Paman dengan khawatir, dan berkata padanya, “Ajeossi, gwaenchanseumnikka?” (Ajeossi, baik-baik saja?).
Si Paman tidak menjawab, sedikit pun ia tidak merespons.
Ajeossi ini mengerti bahasa Korea atau tidak? Ataukah dia bukan orang Korea?
Kutatap Paman itu. Kepalanya miring, menatapku dengan wajah kaku. Tangannya yang satu tetap berada di atas pangkuannya dan yang satu lagi masih di samping tumpuan tuas pengendali roda kursi roda, ia tidak bergerak kecuali jemarinya. Sepertinya dia sedang sakit.
“Akk, sakit!” Aku merasakan telapak tanganku nyeri, pasti karena terjatuh tadi. Telapak tanganku tergores dan sedikit berdarah—ah, kuku jariku patah!
Tidak! Goresan kecil di kulit atau kuku yang patah bukanlah sesuatu yang harus kuperhatikan sekarang!
Aku berdiri dengan cepat, menyadari kalau aku mungkin sudah terlambat. Kulihat jam tanganku, lalu kulihat Paman itu. Lalu melihat sekeliling.
Aku bertanya lagi padanya, masih dalam bahasa Korea, kataku: “Ajeossi, di mana rumahmu? Apa rumah Ajeossi di dekat sini?”
Ajeossi itu tetap tidak menjawab.
Jadi, aku berkata lagi: “Ajeossi ingin pergi ke mana? Akan saya panggilkan taksi.”
Paman Kursi Roda itu tidak menjawab sepatah kata pun.
Aku diam sejenak, berpikir. Bagaimana sekarang? Apa kutinggalkan saja Paman ini? Tapi, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Bagaimana kalau dia meluncur ke jalanan lagi seperti tadi? Itu bahaya.
Setelah selesai berkompromi dengan diriku sendiri, aku segera melakukan sesuatu yang mungkin bodoh sekali, sebab aku bisa saja dituduh sebagai penculik karena ini. Tapi, hanya ini yang terpikir olehku.
Aku akan membawa paman ini bersamaku.
Kudorong kursi roda dari belakang sambil bicara pada paman tak dikenal itu. Aku segera menjelaskan beberapa hal agar ia tidak salah paham. Kataku: “Ajeossi, saya harus pergi ke suatu tempat. Saya akan bersama Ajeossi, karena berbahaya di jalanan sendirian seperti tadi.”
Paman itu tidak protes, dari sikapnya sepertinya dia setuju ikut bersamaku. Jadi, aku melangkah terus tanpa ragu.
Aku pun memperkenalkan diri, “Saya berasal dari Indonesia. Nama saya Himalaya. Hima. Ajeossi boleh memanggil saya seperti itu.”
Kuharap Paman itu akan memperkenalkan diri juga, tapi harapanku tidak terjadi.
Karena itu, kulanjutkan lagi ocehanku, “Di Seoul, saya punya sebuah toko. Di Myeong-dong. Dulu itu adalah studio foto dan toko suvenir. Sekarang pun masih begitu. Masih menjadi toko suvenir walau studio fotonya tidak lagi digunakan. Ajeossi tahu, perkembangan zaman sudah mengubah banyak hal sekarang. Banyak orang lebih senang menggunakan kamera digital di zaman ini dan akhirnya studio foto kami sepi.”
Kebenaran dan kebohongan yang diucapkan bersamaan. Studio foto tidak digunakan bukan karena sepi, tetapi karena tidak ingin.
Aku berkata lagi dengan rasa bangga, “Kami memiliki beberapa barang karya seni buatan tangan yang cantik, buatan perajin Indonesia. Asli! Pokoknya sangat bagus jika dipajang.”
Aku menjelaskan tentang diriku kepada paman itu, bukan untuk sekadar basa-basi, tetapi agar ia merasa lebih tenang bersama dengan orang asing yang tiba-tiba membawanya menuju ke suatu tempat.
Aku melanjutkan, “Sunflower, itu nama toko kami. Ibuku yang memberikan nama itu. Diberi nama begitu karena kami ingin selalu meninggalkan kesan hangat dan ceria pada pengunjung kami, seperti bunga matahari. Ajeossi tahu, bunga matahari, ia tidak takut menatap matahari setiap harinya. Toko kami juga begitu, tidak akan goyah dan akan terus berdiri setiap hari meski zaman terus berubah.”
Sambil menyusuri Apgujeong, aku mengatakan sangat banyak hal kepada Paman itu. Terlalu banyak hingga aku sendiri tidak bisa mengingat setiap kalimat yang sudah kukatakan.
Kami kemudian memasuki jalanan gang yang lebar dengan pemandangan di kiri dan kanan memperlihatkan mobil-mobil berjejer terparkir di dekat beberapa bangunan yang berhadap-hadapan. Butik, toko sepeda, toko bunga, kafe dan restoran.
Aku pun berhenti menceritakan tentang diriku kepada si Paman saat kami telah berada di depan sebuah restoran Italia yang menjadi tujuanku.
Aku melangkah ke depan paman itu, lalu berkata: “Ajeossi, tunggulah sebentar. Setelah urusan saya selesai di sini, saya akan mengantar Ajeossi pulang ke rumah, ya?”
Seperti sebelumnya, Paman Kursi Roda itu tidak menjawab. Jadi, ia hanya bisa mengikutiku saja.
Aku kembali mendorong kursi roda si Paman, beranjak membawanya memasuki restoran. Aku benar-benar akan memenuhi janji untuk mengantar paman itu pulang kalau urusanku sudah selesai di sini.
Namun, belum masuk ke restoran itu, terdengar suara seorang pria yang memanggil dari suatu tempat.
“Abeoji?” (Ayah?).
Suaranya membuatku berhenti mendorong kursi roda dan menoleh.
Dari arah salah satu mobil yang sedang terparkir di halaman parkir sisi kanan restoran itu, seorang pria melangkah mendekat ke arah kami.
Seorang pria yang kuperkirakan usianya sekitar tiga puluhan atau lebih. Berpakaian rapi dengan balutan busana berwarna monokrom yang berdesain kontemporer—bisa kutebak, stelan kemeja serta coat yang dikenakannya itu berlabel premium dan memiliki harga yang fantastis. Di bawah cahaya lampu tampak perawakannya yang memiliki tatapan mata cerdas dan percaya diri, berambut gelap dan menata rapi gaya rambutnya, terbilang tampan dan begitu menarik perhatian. Bertubuh jangkung dengan gaya yang menunjukkan kelasnya. Ia kelihatan bermerek dari kepala sampai kaki.
Melihatnya pertama kali bisa membuat seseorang sepertiku menatap dengan mata yang membulat lebar. Penampilannya yang menunjukkan sikap angkuh namun memesona bisa membuat siapa pun yang menoleh padanya akan sulit melepaskan pandangan dari sosoknya.
‘Wahh. Apa aku pernah melihatnya di suatu tempat? Televisi mungkin. Kenapa rasanya tidak asing?’
Aku nyaris terbahak tiba-tiba, karena aku hampir saja meminta tanda tangan dan foto bersama. Aku pikir, dia seorang aktor yang sedang keluyuran. Wajah dan penampilannya memang seperti aktor tampan Korea, sih. Aku tersenyum sendiri oleh pikiran gilaku.
‘Ah, tidak!’ Aku mengerjap. ‘Bukan waktunya terkagum-kagum!’
“Abeoji ...” Pria itu menuju ke hadapan si Paman Kursi Roda dan berlutut dengan menekuk satu kaki ke lantai. Raut wajahnya tampak cemas. Ia berkata pada ‘Paman Kursi Roda’ itu: “Bagaimana bisa berada di sini?”
Aku segera bertanya padanya dengan sikap formal, untuk memastikan: “Apa Ajeossi ini adalah ayah Anda?”
Dia menoleh ke arahku dengan heran. Lalu menjawab: “Ya, itu benar. Dan, kau ...”