Restoran Italia yang sama, kursi yang sama.
Di tempat yang sama seperti kemarin, aku menikmati secangkir capuccino sembari membuat goresan sketsa di layar ponsel menggunakan stylus pen.
Hari ini aku tidak membuat Sekretaris Ahn menunggu, aku tiba di restoran Italia ini dua puluh menit lebih awal dari waktu yang ia tentukan dan menunggu kedatangannya dengan santai.
“Selamat sore!”
Suara itu membuatku mendongak dari ponselku. “Selamat sore, Sekretaris Ahn.” Kupersilakan ia duduk dengan isyarat tangan.
Pria itu mengangguk dan duduk di kursi yang berada di hadapanku.
Aku meletakkan ponselku, sekilas kulirik jam tanganku. “Tepat waktu. Saya sudah menunggu dua puluh menit juga. Jadi, utang penantian dua puluh menit Anda kemarin sudah saya bayar lunas hari ini.”
Sekretaris Ahn menaikkan alisnya, merasa aneh dengan yang ia dengar tampaknya. “Utang penantian dua puluh menit?”
“Karena kemarin saya sudah membuat Anda menunggu selama dua puluh menit. Saya tidak pernah ingin memiliki utang apa pun pada siapa pun. Akan saya bayar semuanya secara impas.”
Sekretaris Ahn mengangguk dengan raut wajah yang jelas mengatakan betapa gadis yang ada di hadapannya ternyata agak sulit dipahami olehnya. Gadis ini aneh, begitulah yang terbaca dari raut wajahnya, aneh tapi menarik juga.
Aku mengulurkan tangan padanya tanpa berbasa-basi. “Saya tahu, Anda tidak suka basa-basi,” kataku. “Jadi, langsung saja. Saya ingin melihat dokumen yang harus Anda berikan sebelum saya mengeluarkan uang saya.”
Sekretaris Ahn menautkan alis. “Apa kamu tidak memercayai—”
“Di dunia ini yang paling saya percayai hanya diri saya sendiri,” ujarku tegas. “Saya ingin melihat dokumen itu.”
Sekretaris Ahn tersenyum, ia paham. Kemudian dikeluarkannya sebuah map dari dalam tas yang dibawanya dan meletakkannya di atas meja di hadapanku.
Kuambil dokumen itu dan memeriksanya dengan sangat teliti. Aku khawatir jika dokumen itu palsu dan aku ditipu. Aku hanya sangat curiga dan heran. Kenapa orang yang bahkan bersedia membeli surat utang dengan harga empat kali lipat untuk memiliki sebuah toko kecil justru kemudian dengan mudah menyerahkan surat-surat dan kepemilikan toko itu seperti ini? Aku pikir empat puluh juta won pasti bukan apa-apa untuk seorang pengusaha seperti Taeyang Wisesesa. Jika dia memang sangat ingin memiliki toko kecil kami, dia bisa saja melakukan berbagai hal untuk tetap tidak menyerahkan toko itu seperti ini. Tapi …
“Semuanya asli.”
Sekretaris Ahn nyaris tertawa. “Tentu saja.”
Sepertinya aku berpikir terlalu berlebihan, jadi kuabaikan saja kecurigaanku yang tidak beralasan. Setelah selesai memeriksa dokumen-dokumen itu, kuambil sebuah kardus besar yang sejak tadi kuletakkan di bawah meja dan meletakkannya ke atas meja di depan Sekretaris Ahn.
“Saya lebih menyukai uang tunai,” kataku. “Silakan diperiksa.”
Sekretaris Ahn mengerutkan dahi. Dibukanya kotak itu. Dan, kerutan dahinya langsung bertambah di wajahnya yang tercengang.
Isi di dalam kotak besar itu adalah uang sejumlah empat puluh juta won dengan pecahan seribu won, lima ribu won dan sepuluh ribu won yang disimpan bertumpuk lembar demi lembar secara acak.
“Sebenarnya saya ingin membawa pecahan seratus won, tapi terlalu berat untuk dibawa-bawa.” Aku menambahkan, sambil mengamankan dokumen-dokumen di tanganku ke dalam tas selempang milikku, “Silakan dihitung. Saya akan menunggu sambil minum kopi dan memesan beberapa menu terbaik restoran ini.” Aku tersenyum lebar. Akan kupesan makanan paling enak, kemudian sambil makan dengan santai aku akan menikmati pemandangan kesengsaraan Sekretaris Lintah Darat itu.
Sekretaris Ahn belum juga menghitung uangnya, ia hanya menatap kotak itu, bergeming.
“Jangan khawatir,” kataku lagi, “Uangnya pas. Karena, jika kurang satu won saja, saya berjanji akan memberikan toko saya secara cuma-cuma kepada Presdir Taeyang Wisesa.”
Aku merogoh tasku, mengeluarkan lembaran kertas yang merupakan ‘surat tanda terima dokumen dan uang’ untuk pelunasan utang ini sebanyak dua rangkap dan meletakkannya di meja.
“Silakan menghitung dan berikan cap serta tanda tangan Anda di tanda terimanya setelah itu, Sekretaris Ahn.”
Sekretaris Ahn menatapku, memperlihatkan ekspresi wajah yang menyenangkan bagiku. Raut wajahnya itu terlalu jelas, ada rasa tidak percaya yang meluap-luap bercampur dengan kesal yang tertahan. Menyenangkan sekali melihatnya. Aku jadi ingin bernyanyi dan berdansa seperti bintang idola di dalam sebuah videoklip.
***
Rasanya seperti baru saja memenangkan sebuah perang.
Aku bersenandung dan bergoyang dengan riang. Senyuman lebar di wajahku tidak bisa hilang—sejak kutinggalkan restoran, senyuman itu menempel terus.
“Rasakan itu, Sekretaris Lintah Darat! Ah, kemenangan memang terasa manis.”
Puas sekali rasanya bisa melihat orang tukang peras itu menderita menghitung uangnya selama hampir dua jam. Ha-ha-ha.
“Apa dia bodoh? Harusnya dia membawa alat penghitung uang otomatis untuk berjaga-jaga.”
Langkahku terasa ringan, aku benar-benar senang sampai rasanya aku bisa terbang.
Aku berhasil menyelamatkan rumahku. Mama dan Papa pasti bangga sekali.
Dengan perasaan lega aku melangkah menyusuri jalanan Hongdae yang ramai sambil mendengarkan musik yang dimainkan oleh beberapa musisi jalanan. Aku akan menghabiskan malam minggu ini di Hongdae, bergabung dengan orang-orang yang sedang menonton pertunjukan sebuah grup musik musisi jalanan yang tidak kalah keren dari para penyanyi terkenal di televisi. Walau sekarang aku berjalan-jalan sendirian, tapi sebentar lagi pasti aku akan mendapatkan teman di tempat ini.
“Oh!” Mataku menangkap sosok yang kukenal.
Salah seorang dari musisi jalanan Hongdae di sana, yang sedang bermain drum. Si rambut gimbal itu. Park In-Ho.
“Dia di sini …”
Park In-Ho terlihat sangat berbeda saat sedang bermain musik seperti itu. Dia terlihat lebih keren daripada biasanya, benar-benar seperti seorang bintang—kuakui itu.
BRUKH!!
“Aduh!” Akibat melangkah tidak fokus ke depan, aku menabrak sesuatu, atau tepatnya seseorang. ‘Ih, gara-gara In-Ho!’
Aku mundur beberapa langkah untuk menyeimbangkan badan agar tidak terjatuh.
“Ah, siapa, sih? Menghalangi jalan—” Aku bergumam sambil mendongak. Lalu mataku menjadi sedikit melebar.
Seseorang yang kutabrak membuatku merasa akan jatuh karena kakiku lemas. Seorang pria bertubuh jangkung dengan wajah dan penampilan yang menarik. Enak sekali dipandangi, deh. “Oh!” Tiba-tiba aku merasa pernah melihatnya.
Aku mengingat. Ya, aku memang pernah melihatnya. Tapi, di mana? Apa dia aktor atau penyanyi idola Korea yang wajahnya sering muncul di televisi dan posternya terpajang di tiap tempat? Wajah yang mirip aktor itu. Penampilan seorang yang angkuh dan memesona itu—
“Ooh! Anaknya Paman Kursi Roda!” Aku sengaja berkata begini dengan bahasa Indonesia, agar pria di depanku tidak tahu kalau aku mengingatnya.
“Kamu sangat senang sekali kelihatannya.” Setelah mengangguk mengiyakan ucapanku yang terdengar olehnya, ia berkata, bukan dalam bahasa Korea seperti kemarin saat kami bertemu di depan restoran itu, tapi dalam bahasa Indonesia dengan suara dan pelafalan bagus yang enak di dengar.
“Eh?” Ekspresiku pasti sedang ternganga keheranan sekarang. “Bahasa ...”
“Indonesia,” lanjutnya. “Tidak sulit dipelajari.”
“Oh …” Aku tersenyum canggung. Haha. “Ini benar-benar hari yang menyenangkan. Bagaimana bisa begini, ya?”
Sebenarnya aku sedang bertanya pada diri sendiri, tapi dia menjawabnya.
“Mungkin karena ini hari keberuntunganmu.”
Aku mengangkat bahu. “Sepertinya begitu. Ah, tapi sepertinya ini karena bertemu orang asing yang bisa bahasa Indonesia di negara asing. Rasanya senang sekali.”
“Apa itu artinya kamu sangat senang bertemu denganku?”
Aku mengangguk. “Kurasa begitu,” jawabku. “Oh, iya! Apa kabarnya ayahmu, Ajeossi?”
Ia mengernyit. Kemudian menjawab singkat. “Baik.”
“Ah, syukurlah. Hari itu Ajeossi, ah, maksudku, ayahmu. Sepertinya sedang kurang sehat, ya?”
“Ayahku memang sedang kurang sehat.”
Aku mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Himalaya.”
Ia menaikkan alisnya.
“Namaku,” ujarku, “Himalaya.”
“Gunung es yang lumayan kokoh.” Ia menjabat tanganku.
“Sangat kokoh,” ralatku. “Himalaya adalah gunung es yang tidak akan mudah runtuh walaupun matahari terus menyinarinya,” lanjutku lagi, “Dan, nama Ajeossi?”