GAME OVER

Gemi
Chapter #7

6. Menjebak atau Terjebak?!


LOVE GAME.


Para pemain yang mengikuti permainan ini wajib mematuhi peraturan berikut:

1. Permainan dilakukan oleh dua pihak dengan sebuah perjanjian tertentu yang akan ditulis secara terpisah dari peraturan ini.

2. Pemain masing-masing akan berusaha untuk membuat pihak lawan jatuh hati.

3. Pemain tidak boleh jatuh hati kepada lawan. Jika salah satu pemain jatuh hati dan dengan jelas mengatakan ‘aku mencintaimu’, permainan berakhir. Pihak pemain yang jatuh hati dan menyatakan kalimat ‘aku mencintaimu’ kepada lawannya, akan dinyatakan kalah.

4. Pemain tidak boleh tertangkap sedang bermesraan dengan pihak ketiga. Jika salah satu pemain membuat kesalahan, seperti tertangkap basah oleh lawan secara terang-terangan sedang berselingkuh atau bermesraan dengan pihak ketiga, maka secara otomatis pemain yang tertangkap sedang berselingkuh tersebut akan dinyatakan kalah.

5. Jika salah satu pemain menghentikan permainan secara sepihak sebelum waktu permainan berakhir, maka pemain tersebut dinyatakan kalah.

6. Permainan akan berlangsung selama tiga minggu. Jika hasilnya seri, maka permainan akan berlanjut ke tahap dua, selama dua minggu berikutnya. Jika masih seri sampai akhir, maka kedua pemain sepakat menjalani hidup masing-masing dan tidak akan mengganggu satu sama lain. Serta perjanjian tertulis yang dibicarakan pada poin nomor satu menjadi tidak berlaku.

Jika salah satu pemain ingin memperpanjang waktu permainan, hal tersebut hanya dapat dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak.

7. Pemain yang memenangkan permainan ini akan mendapatkan apa yang menjadi keinginannya sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan pada poin nomor satu. Pihak yang kalah tidak bisa mengubah perjanjian dan harus memberikan keinginan pihak pemenang sesuai dengan perjanjian tersebut.

8. Para pemain yang mengikuti permainan ini akan menandatangani sebuah surat perjanjian yang memiliki kekuatan hukum yang akan menjabarkan kembali seluruh perjanjian dengan jelas, tanpa paksaan dari pihak mana pun ...


***


Pada suatu siang yang dingin, di sebuah kafe yang hangat. Bermodalkan seluruh kepercayaan diri yang masih tersisa, aku mempertaruhkan harga diriku.

“Kamu bercanda?”

“Sama sekali tidak.”

“Jadi, kamu menemuiku hanya untuk menawarkan permainan konyol seperti ini?” Taeyang Wisesa melambaikan lembaran perjanjian dan peraturan permainan yang kuberikan padanya setelah selesai kubacakan dengan sikap tenang.

Aku menaikkan alis. “Sepertinya begitu.”

Pria itu menatapku dengan raut wajah tak percaya.

Tidak! Dia harus percaya! Aku akan meyakinkannya dengan segala cara—melakukan ritual memanggil hujan di tengah kota sambil salto di udara jika perlu. Aku tidak bisa membuat segalanya menjadi sia-sia setelah sedikit kehilangan akal dan memutuskan untuk menekan nomor ponselnya.

Beberapa jam yang lalu aku menghubunginya dan membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe yang terletak paling dekat dengan tempatku sedang berada, di Cheongdam-dong. Sebenarnya, aku sedang berspekulasi saat itu. Apakah aku bisa memanfaatkan dia dan ketertarikkannya pada Haebaragi atau tidak?

Kemudian, di sinilah kami, di sebuah kafe dimana setiap orang bisa menikmati kue cokelat yang lezat.

‘Hmmm … aku suka kafe yang beraroma cokelat ini. Membuatku merasa lebih santai saat menghadapi Presdir angkuh itu.’ Aku harus membuat diriku santai. Hanya di saat santai aku bisa berpikir dengan lebih baik dan membuatku bisa menjawab pertanyaan itu.

Dan, jawaban dari pertanyaan itu adalah ‘ya’. Aku bisa memanfaatkan dia.

Pria ini sangat terobsesi pada Haebaragi. Aku mengetahuinya saat dia benar-benar datang menemuiku tepat waktu, setelah sebelumnya saat berbincang di telepon kukatakan padanya bahwa aku sudah memutuskan berapa harga yang harus dibayar untuk mendapatkan bangunan itu.

Seperti itulah aku memulai sebuah aksi tidak masuk akal demi menyelamatkan Haebaragi. Ini adalah satu-satunya rencana yang terpikirkan olehku. Dengan rasa percaya diri yang sesungguhnya tidak begitu tinggi, aku membuang rasa malu dan menjalankan rencana yang kuberi nama ‘Misi Penyelamatan Haebaragi 2’.

“Ikuti permainan ini, inilah harga yang saya tetapkan untuk bangunan itu. Kalahkan saya!” tantangku.

“Harga untuk bangunan itu?”

“Sudah saya bilang, harganya tidak murah. Harganya adalah harga diri saya,” jawabku. “Tapi, karena Anda begitu menginginkannya, akan saya berikan gratis jika Anda bisa mengalahkan saya.”

Dahi pria itu mengernyit, tampak berpikir.

“Anda tidak akan rugi. Anda memiliki kesempatan mendapatkan Haebaragi kami secara gratis, tanpa mengeluarkan uang satu sen pun.”

Aku yakin, ‘gratis’ pastilah kata yang sangat disukai oleh ‘Bos Lintah Darat’ ini. Sebagai seorang pebisnis dia tampak sangat perhitungan, jadi dia pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang sedang diincarnya ... secara gratis.

“Oh, atau ... Anda tidak punya kepercayaan diri untuk mendapatkan bangunan itu secara gratis?” tanyaku dengan penekanan suara pada kalimat tidak punya kepercayaan diri dan kata gratis saat melihat pria itu masih saja berpikir dan berpikir.

Taeyang Wisesa menatap dengan wajahnya yang bisa menghipnotis setiap perempuan untuk tersenyum-senyum sendiri. “Kamu begitu percaya diri akan menang, ya?”

“Kepercayaan diri.” Aku mengangguk. “Ya. Karena itu satu-satunya yang saya miliki sekarang.”

“Bisa kulihat itu,” ucapnya dengan tatapan menyihir.

“Jadi, apa Anda akan melewatkan penawaran terbaik yang bisa Anda dapatkan? Haebaragi gratis, jika Anda menang.” Aku juga memiliki sihirku sendiri dari senyuman cerah yang kupamerkan jarang-jarang. Kupamerkan padanya sekarang untuk memenangkan suatu penawaran. “Tetapi, jika saya menang. Grup World dan semua yang terhubung dengan Anda, tidak akan menyentuh Haebaragi kami selamanya. Itu saja syarat kecil yang saya minta.”

Taeyang Wisesa meneguk kopinya sembari memalingkan wajah ke arah jalanan di luar kafe, menatap jalanan melalui dinding kaca di samping kami. Kelihatannya dia memikirkan jawabannya dengan sangat cermat. Dia adalah seorang pebisnis yang teliti, agaknya bukan seseorang yang mudah dikendalikan sesuai keinginan.

“Kalau Anda tidak punya kepercayaan diri ...”

“Yang benar saja?” gumamnya tanpa menoleh.

Apa?!’

Dia baru saja bergumam dengan nada meremehkan. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Apa dia sedang berpikir kalau penawaranku sangat tidak perlu diladeni? Apa dia akan menolak penawaranku yang disebutnya konyol itu dengan keangkuhan yang membuat orang ingin melempar meja ke wajahnya?

Aku masih berusaha terlihat tenang, meski sebenarnya sejak tadi aku sangat ingin melarikan diri dari hadapannya.

Aku menggigit bibir. ‘Jika dia menolak penawaran itu,’ pikirku, ‘Yang terburuk hari ini, hidupku akan berakhir di sini dengan sangat sangat sangat memalukan. Ah, kenapa aku harus melakukan hal yang putus asa seperti ini, sih?’

“Baiklah.”

“Eh?” Baiklah, katanya?

Ia memalingkan wajah ke arahku. “Pada musim semi tahun ini, pekerjaan lapangan akan dimulai. Itu sempurna, karena saat itu aku akan mendapatkan tokomu secara gratis.” Ia mengangkat cangkirnya ke depan. “Tantangan diterima!”

Aku masih tidak percaya. “Diterima?”

“Kenapa? Apa ...”

“Ah! Tidak apa-apa!” ujarku cepat sebelum ia mengubah pikirannya. Kuangkat cangkirku dan mendentingkan ke cangkir kopinya. “Kalau begitu, silakan tanda tangani perjanjiannya dan permainan akan dimulai hari ini.” Kuambil pena dari saku jaketku dan menyodorkan padanya.

Taeyang meletakkan cangkir kopinya di meja dengan santai, kemudian ia mengambil pena itu dan menandatangani dua rangkap lembaran perjanjian yang menempel pada lembaran peraturan permainan di tangannya, setelah membacanya sekilas.

Kuteguk hot chocolate dari cangkirku, menyembunyikan senyuman licik di wajahku, puas dengan keberhasilan penawaran konyol ini. Sepertinya ada bunyi klik di dalam kepalaku sekarang. ‘Taeyang Wisesa, kamu masuk perangkap!’

Taeyang menatap dengan sinar mata jail. “Jadi, kita sudah resmi menjadi sepasang kekasih sekarang.”

“UHUK!” Aku benar-benar tersedak minumanku. Ugh. “Apa? Ah, apa di dalam peraturannya disebutkan kalau kita akan menjadi kekasih?” Aku pikir, aku tidak menulis seperti itu.

Taeyang meletakkan lembar peraturan permainan ke depanku, menunjuk peraturan nomor empat, lalu membacanya. “Pemain tidak boleh tertangkap sedang bermesraan dengan pihak ketiga. Jika salah satu pemain membuat kesalahan, seperti tertangkap basah oleh lawan secara terang-terangan sedang berselingkuh atau bermesraan dengan pihak ketiga, maka secara otomatis pemain yang tertangkap sedang berselingkuh tersebut akan dinyatakan kalah.” Ia mengetukkan jari telunjuknya ke tulisan itu. “Tertangkap basah berselingkuh, ya? Kalau bukan sepasang kekasih atau suami istri, bagaimana bisa ada kalimat seperti ini? Selingkuh? Kalau tidak ada hubungan apa-apa, tidak perlu ada peraturan soal perselingkuhan atau bermesraan dengan orang lain.”

“Ah, begitukah?”

“Ah, begitukah?” ia berkata, “Memangnya kamu tidak bermaksud begitu?”

“Itu ...” Karena senang sekali dia menerima permainan ini, aku hampir lupa pada peraturan yang itu.

Ia tersenyum meremehkan saat mendapati kebodohan di wajahku. “Jadi, mulai hari ini, saat permainan kita mulai, kita sudah resmi menjadi sepasang kekasih.” Ia mengulangi, seperti sedang mempermainkanku dengan nada suara yang menekankan pada kata ‘sepasang kekasih’.

“Haruskah?” gumamku.

“Kenapa? Sepertinya kamu tidak terlalu percaya diri. Kamu bahkan belum menandatangani perjanjiannya.” Ia melambaikan pena di tangannya.

“Apa?” Aku berdehem. Apa yang kupikirkan? Aku tidak seharusnya berpikir. Kuambil pena itu dari tangannya dan menandatangani lembar perjanjian itu tanpa ragu. “Asal tahu saja, ya, saya punya kepercayaan diri yang tidak akan pernah Anda bayangkan.”

“Anda? Saya?” ucapnya sembari menaikkan alisnya. “Ah, apa begitu caranya berbicara dengan seorang kekasih yang sangat kamu cintai?”

Wah, kepercayaan diri yang menyebalkan! Aku tersenyum manis. “Baiklah. Aku akan bicara dengan manja mulai sekarang. Karena Taeyang ssi akan menjadi orang yang aku cin—” Tunggu! Peraturannya tidak boleh bilang kata ‘aku cinta ...’. Aku mengatupkan bibirku. ‘Ah, bodoh!’

“Kenapa berhenti? Kamu mulai tertarik padaku?” Taeyang menyunggingkan senyuman puas seolah dia telah memenangkan seluruh dunia. “Permainannya baru dimulai lima detik dan kamu sudah menyatakan perasaanmu itu. Tapi, tidak apa-apa. Karena jatuh hati padaku memang sangat mudah.”

Dia pandai menjebak dengan kata-kata dan aku nyaris saja terjebak. Aku pun mengerti kalimat yang sering diucapkan In-Su saat ia sedang bermain video game: ‘Diperlukan fokus yang baik di saat sedang memainkan sebuah permainan, Nuna.’

“Permainan ini baru dimulai tapi sudah terasa seru sekali, bukan?” aku berkata dengan seulas senyuman menggoda. “Tapi, Tuan Presdir, kalau aku menyatakan perasaan cinta padamu semudah itu, aku pasti sudah hilang ingatan. Himalaya tidak akan runtuh dengan mudah hanya karena cahaya matahari.” Aku membandingkan namaku dengan namanya yang berarti matahari.

“Kamu tahu, matahari sanggup mencairkan Himalaya,” ujarnya dengan sikap penuh percaya diri.

“Aku tahu,” jawabku tak peduli. Sepertinya, rasa percaya diri yang dia miliki tidak akan habis sampai kiamat.

“Nah, malam ini bersiap-siaplah. Akan kukenalkan sebagai pacar baruku.”

“Apa?” Apa secepat itu memperkenalkan aku ke orangtuanya?

“Ada pesta peresmian hotel milik temanku yang harus dihadiri, jadi berdandanlah sesuai dress code.” Taeyang meletakkan undangan berwarna emas di atas meja.

Kuraih undangan yang didesain dengan mewah itu dan membacanya. ‘Ah, peresmian hotel. Itu artinya …’

“Banyak tamu penting akan hadir di sana.”

Ya! Benar!’

“Jangan berpenampilan seperti ABG.” Taeyang melirik pakaianku dengan sebelah alis terangkat.

ABG?’

Hari ini aku mengenakan sepatu kets, stoking, rok balerina, t-shirt dilapisi hoodie dan jaket kulit, dengan rambut yang kugerai berantakan. Itu pasti membuatku terlihat seperti remaja belasan tahun di matanya.

Aku menatap dengan raut wajah tersinggung. “Ajeossi, aku berdandan seperti apa pun tetap saja akan terlihat jaaaauh lebih muda darimu, jadi jangan protes soal penampilanku ini. Oke? Ini sudah alami.”

Ajeossi?” Ia tidak terima dipanggil begitu sejak semula.

“Dua puluh satu tahun.” Aku menunjuk diriku. “Tiga puluh enam tahun.” Aku mengarahkan telunjukku padanya. “Ajeossi, beruntung sekali punya pacar semuda ini dan secantik ini, bukan begitu?” Aku tersenyum angkuh seraya meletakkan tangan di bawah dagu.

“Dari mana kepercayaan dirinya itu?”

“Aku punya banyak.” Bukan hanya kamu.

Ia tertawa ringan. Lalu, mengangkat sebelah tangannya dan menepuk kepalaku lembut, seperti memperlakukan seorang bocah.

“?”

“Kalau begitu, sesuaikan dirimu, ya, Agassi. Jangan membuatku kelihatan seperti pria dewasa yang pergi kencan sama anak kecil.”

Aku mendelik, memperlihatkan tatapan tidak suka. Anak kecil? Apa dia tidak tahu bahwa seorang perempuan yang sudah berdandan bisa mengalami perbedaan luar biasa pada wajah dan penampilan?

Kusingkirkan tangannya dari kepalaku. “Tenang saja, Ajeossi. Itu ti ... dak akan terjadi.”

“Baguslah kalau begitu.” Ia tersenyum—terlalu hangat untuk seorang pebisnis licik.

Aku membalas senyuman hangatnya dengan seulas senyuman hangat yang sama. ‘Baguslah kalau begini,’ ucapku dalam hati.

Lihat selengkapnya