GAME OVER

Gemi
Chapter #8

7. Keahlian Memanfaatkan.

Haebaragi yang sepi tiba-tiba menjadi ramai.

Hampir pukul sepuluh malam. Empat orang pria dengan gelagat seperti preman memasuki Haebaragi. Tidak ada seorang pun di Haebaragi saat mereka datang kecuali aku—Lee Ajeossi dan ibu tiriku pergi sejak sore untuk suatu urusan pekerjaan, sementara In-ho sedang keluyuran entah ke mana dan In-su masih belum kembali dari sekolah. Jadi, aku harus menghadapi para pengunjung itu sendirian sambil berusaha bersikap tenang.

“Maaf. Kami sudah tutup.” Dalam bahasa negara setempat kukatakan itu saat melihat gelagat mereka yang tidak biasa.

Penampilan mereka membuatku berpikiran buruk. Meski begitu, aku tetap meyakinkan diriku agar tidak menilai orang dari penampilan luar mereka.

“Saat ini kami sudah tutup,” kataku lagi, “Tapi, kami akan mendatangkan barang-barang baru mulai besok. Jadi, akan lebih baik jika Anda semua berkunjung ke toko kami besok pagi atau beberapa hari lagi. Anda akan menemukan lebih banyak barang yang bervariasi.”

Aku berusaha bersikap sopan karena kuanggap mereka pelanggan. Tapi, kalimat benada sopan yang kuucapkan sepertinya tidak membuat mereka paham, mereka tidak menggubris. Para pria yang tidak kukenal itu melangkah dengan tak peduli dan menyentuh barang-barang yang terpajang di dalam toko secara sembarangan, kemudian melempar setiap barang yang mereka pegang ke lantai dengan sikap santai. Sambil melakukan tindakan yang menyebabkan kerusakan pada barang-barang itu, mereka membicarakan masalah yang tidak kupahami, tentang 'mengambil sesuatu dari tempat yang tidak membayar pinjaman tepat waktu'.

Kesabaranku mulai menipis. Dan dengan sikap yang selalu berubah menjadi lebih buruk ketika kehilangan kesabaran, aku segera mengusir mereka keluar tanpa berbasa-basi. “Pergilah baik-baik, atau kalian akan berakhir di penjara,” ujarku mengancam.

Kurogoh ponsel di saku hoodie-ku dan menekan nomor panggilan darurat 112. Namun, sebelum panggilan itu terhubung, ponselku lebih dulu dirampas dari tanganku. Salah seorang dari para preman itu sudah berdiri di dekatku, merampas dan melempar ponselku ke lantai.

Hah! Aku tidak lagi bisa menahan diri, kekesalanku meningkat.

“Ah! Itu terlepas dari tanganku,” preman itu berkata dengan ekspresi mengejek.

Aku menatap ponsel yang tergeletak di lantai dengan perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Layarnya retak!!!

Lalu, kuangkat kepala, melempar tatapan tajam pada preman yang telah menyebabkan ponselku berakhir seperti itu. Kesabaran memang bukan bagian dari diriku. “Aissi!” Refleks, aku pun menyeruduk wajah preman itu dengan kepalaku. Gerakan refleks yang kulakukan di saat tertentu biasanya sama sekali tidak kusadari proses dan akibatnya, itu selalu kulakukan tanpa berpikir, seperti saat ini.

“Ah! Itu hanya refleks,” ujarku dengan sikap angkuh. “Aku anggap itu bayaran untuk kerusakan ponselku.”

Preman itu bergeming, sementara dari hidungnya mengalir keluar cairan merah. Dengan santai ia menyeka cairan merah di hidungnya menggunakan jempolnya dan berkata, “Aku suka gadis ini.”

“Apa?”

Preman itu mencengkeram lenganku kuat-kuat. “Siapa sangka aku bertemu gadis idamanku di sini. Hahaha.”

“Aissi! Lepaskan! Atau akan kubuat kau menyesal,” ujarku marah.

Preman itu tertawa puas dan berkata pada teman-temannya, “Bukankah dia yang akan kita jemput?”

Ketiga rekan premannya yang lain ikut tertawa-tawa dan mengangguk. Lalu, preman itu menyeretku keluar dari toko dengan sangat kasar.

Meski aku berusaha melawan, aku tetap terseret keluar dari toko dengan mudah. ‘Argh! Jika saja aku berolahraga dengan lebih giat, tubuhku tidak akan selemah ini.’

Begitu keluar dari toko, aku dikejutkan oleh In-Ho yang sudah berdiri menghalangi jalan di depan toko. Tanpa terduga In-Ho segera menyambar kerah baju preman yang sedang mencengkeram lenganku.

“Lepaskan dia!” In-Ho berkata sambil melayangkan tangannya yang terkepal ke arah preman itu.

Akan tetapi, kepalan tangan In-Ho tertahan di udara sebelum pukulannya mencapai sasaran. Salah seorang preman lainnya menangkap tangannya, lalu mendorongnya.

Dengan sigap, dua preman yang lain pun ikut membantu rekan mereka yang sudah membuat In-Ho terdorong menjauh. In-Ho ditarik oleh dua orang preman itu, kedua tangan In-Ho dipeganggi oleh satu orang masing-masing di kiri dan kanan. Kemudian, preman yang tadinya menahan pukulan In-Ho, melangkah maju dan melayangkan pukulan ke arah In-Ho.

Aku yakin, In-Ho dapat mengalahkan mereka semua dalam perkelahian satu lawan satu. Tapi karena ia dikeroyok oleh tiga orang, dalam hitungan detik In-Ho sudah tergeletak di jalan.

‘Dia berkelahi tanpa berpikir.’ In-Ho bodoh, aku tahu. Tapi, aku tidak tahu terbuat dari apa kakak tiriku itu. Meski sudah dijatuhkan sedemikian rupa, ia masih berdiri lagi dan dengan terhuyung-huyung berusaha membalas pukulan tiga orang yang mengeroyoknya.

Aku mendorong preman yang memegang tanganku, meski itu sia-sia saja. “Berhenti! Jangan pukuli dia lagi! Kalian semua akan kulaporkan pada Polisi!” teriakku pada para preman itu.

Mereka tidak memedulikan ancamanku seolah suaraku tidak terdengar.

Aku memalingkan pandangan ke arah sekitar—ke arah orang-orang yang melewati kami—dan berkata dengan sedikit memohon, “Apa kalian hanya akan melihat saja? Telepon Polisi! Ambulans! Tolong kami!” Entah apakah terdengar seperti memohon atau memerintah, karena aku tidak terbiasa memohon.

“Jangan ikut campur! Ini bukan urusan kalian!” Preman yang menyeretku ke jalan itu berkata dengan suara membentak kepada orang-orang di sekitar.

Preman itu berhasil menakuti semua orang hingga tidak seorang pun berani mendekat untuk memberi bantuan. Beberapa orang yang berhenti berjalan dan seperti berniat membantu pun segera menjaga jarak. Tidak terlihat ada yang berusaha menghubungi Polisi atau Rumah Sakit, mereka semua hanya menonton dengan wajah bingung dan ketakutan.

Kenapa orang sebanyak itu takut pada preman yang hanya berjumlah empat orang? “Kalian takut pada bentakan saja?! Hey—”

Saat itu, dari arah kerumunan orang, seorang pemuda yang mengenakan topi dan jaket hitam maju ke depan dengan tiba-tiba. Kemunculannya membuat suaraku tertahan.

Ah, tidak! Dia seharusnya tidak datang di saat para preman itu sedang berada di sini. “In-Su, jangan—”

Belum kuselesaikan kalimatku, pemuda itu—yang tak lain adalah In-Su—sudah berlari sangat kencang ke arahku dan menabrakkan dirinya kepada preman bertubuh besar yang berdiri di sampingku. Detik berikutnya, preman itu tersungkur jatuh dan cengkeramannya di lenganku pun terlepas.

“?!” Aku tersentak saat melihat preman yang jatuh di kakiku itu mengerang memegangi perutnya yang mengeluarkan banyak darah. “Apa—” Kualihkan tatapan ke arah In-Su dan kulihat adik tiriku itu berdiri gemetar sambil menggenggam sebilah pisau lipat berlumuran darah di tangannya.

Aku kehilangan kata-kata. Jantungku berdebar seolah dipukuli sesuatu, terkejut dan panik.

“Bagaimana kalau dia mati?!” Anak bodoh ini bisa dipenjara!

Spontan kuambil pisau itu dari tangan In-Su dan melemparnya sejauh mungkin.

Nuna, Lari!” In-Su mendorongku menjauh. “LARI!!”

Lari? Aku bergeming. “In-Su …” Aku seharusnya lari. Tapi, jika aku lari sekarang, bagaimana dengan mereka? Aku melihat In-Ho yang tergeletak tak sadarkan diri di jalanan, lalu melihat ke arah In-Su. Dan pikiranku macet, terlalu banyak kekusutan di sana. Aku tidak bisa berpikir sama sekali.

“LARI!” In-Su mendorongku dengan kuat.

Tubuhku hanya bergeser sedikit. Di saat yang sama kulihat dua orang preman datang mendekati kami.

Tubuhku bergeser sedikit, itu yang kupikir. Sebab tanpa aku sadari, kakiku yang kedinginan karena hanya menggunakan sandal rumah itu sudah bergerak lebih banyak. Melangkah menjauh dari tempat yang kacau itu.

Aku meninggalkan mereka di belakang, bergerak karena naluri alami melarikan diri dari sesuatu yang tidak mampu kutangani.

‘Aku harus apa?’

Jantungku berdebar kencang dan pandanganku mengabur. Kakiku terus bergerak. Aku berlari seperti orang yang kehilangan arah.

“Polisi! Ambulans! Polisi! Ambulans!” Aku tidak sadar telah mengocehkan hal yang sama berulang-ulang.

 

***

 

Cukup jauh dari Haebaragi. Di tengah keramaian Myeong-dong. Sekitar lima belas menit kemudian.

Aku menangis seperti anak kecil. Sebagian karena aku sangat ingin mengeluhkan segalanya yang terasa sangat berat untuk kuatasi sendirian kepada seseorang, karena aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menyingkirkan berbagai masalah yang ada sekarang. Sebagian lagi, karena aku tidak mengerti bagaimana perasaanku bisa tiba-tiba tersentuh oleh sikapnya saat dia datang.

“Kenapa menangis?” Suaranya terdengar cemas. “Hima, ada apa?”

Aku tidak bisa menahannya. Mataku terus berair seolah-olah sedang bocor.

Setelah dengan panik meminjam ponsel seseorang yang kutemui di jalan dan menghubungi Polisi, lalu dia, aku tidak mengira dia akan benar-benar datang. Dia yang sedang berada di sekitar Myeong-dong, tiba-tiba muncul dengan cepat menemukanku di antara keramaian.

Aku berjongkok di tengah jalanan dan menangis setelah dia datang sampai kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Aku seharusnya tidak melakukan itu, ya, aku tahu. Aku seharusnya tidak menghubunginya, ya, aku juga tahu itu. Tapi, hanya nomor ponselnya yang kuingat saat itu. Hanya dia orang yang kupercaya bisa dan akan membantu, jika aku meminta bantuan.

Tangannya menepuk punggungku lembut. “Ada apa?” tanyanya lagi.

Saat aku sudah cukup mengeluarkan semua yang terasa tidak nyaman, tangisku berhenti dan kuangkat kepalaku menatapnya.

Samudra Dewangga mengembuskan napas. “Sudah selesai nangisnya?”

Aku mengusap air mataku. Berkata dengan suara serak, “Sudah.”

“Apa yang terjadi?” Ia membungkuk di sampingku. “Kamu menelepon dengan suara panik begitu …”

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. “Seharusnya aku gak menelepon kamu, ya?”

“Memang,” ucapnya.

Aku meneguk ludah dan bangkit berdiri. ‘Memang ...’

Saat itu suara sirine terdengar. Entah itu sirine mobil Polisi atau ambulans, tapi itu segera menyadarkanku akan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan. Seharusnya aku tidak meninggalkan In-Ho dan In-Su bersama para preman itu!

“Aku harus kembali ke toko!” Kakiku segera melangkah dari hadapannya, berjalan cepat-cepat, kembali ke arah Haebaragi. Pikiranku tiba-tiba saja hanya memikirkan In-Ho dan In-Su yang kutinggalkan dengan para preman itu di sana, hingga aku melupakan keberadaan Samudra dalam sekejap.

“Hima! Tunggu!”

Suara pria itu di belakangku seperti angin yang masuk dan keluar dari telingaku.

“Ada yang harus kita bicarakan!”

Sebuah tangan menarik lenganku, membuatku tersentak dan berbalik.

“Sam?” Aku melihatnya di hadapanku dan menyadari kehadiran pria itu yang sejenak tadi terlupakan.

“Setelah membuatku datang ke sini dan melihatmu menangis seperti itu, lalu kamu bilang kalau tidak seharusnya kamu menghubungiku? Apa-apaan ini?” Samudra tampak kesal. Tangannya memegang erat lengan tanganku. “Kamu membuatku merasa sangat buruk, kamu tahu?”

“Aa …” Aku menatapnya. Ingin mengucapkan maaf tapi, yang keluar dari mulutku hanya embusan napas letih. ‘Apa yang sudah kulakukan?’ Aku menoleh dengan pikiran kalut. “Sekarang aku …”

“Tinggalkan Taeyang!” Samudra tiba-tiba berkata dengan nada serius.

Aku mengernyit. ‘Tinggalkan Taeyang?’

“Terserah dengan siapa saja, tapi jangan bermain-main dengan sepupuku.”

Lihat selengkapnya