Private dining room. Makan malam dengan selingan percakapan ringan.
Aku lebih banyak mendengar dan hanya mengatakan sesuatu yang harus dikatakan, bahkan kata-kata yang kuucapkan seperti ketidaksengajaan pun sudah kupikirkan lebih dulu. Itu adalah caraku untuk mengetahui seperti apa karakternya agar aku bisa mengimbanginya. Karena aku tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang dia pikirkan, sementara tujuanku berbicang dengannya sekarang adalah untuk mendapatkan kepercayaannya.
“Memiliki kekasih seperti Taeyang Wisesa,” Bos Han Kang berkata, “Lima puluh juta won adalah jumlah yang kecil untuknya. Tentu dia akan memberikannya padamu jika dia tahu kamu sedang sangat memerlukannya.”
Dia mengenalinya. Alisku terangkat. Dia mengatakan hal seperti itu, padahal aku tidak pernah menjelaskan tentang identitas pria yang membawaku kabur dari hadapannya tadi. Kupikir, kebanyakan orang pasti tidak mengetahui wajah dari pewaris World Group itu—awalnya aku pun tidak—karena wajahnya tidak pernah terlihat jelas di media, dan jika bukan karena keinginannya, untuk dapat bertemu dan mengenalnya sepertinya cukup sulit. Rupanya pria yang berada di hadapanku ini bukanlah salah satu dari ‘kebanyakan orang’ itu.
Tetapi, meski Bos Han Kang mengenal Taeyang Wisesa, dia tidak tahu apa-apa tentangku dan tentang kami. Dia tidak tahu, agar Taeyang membolehkanku makan malam bersamanya seperti sekarang ini, aku harus memohon dan berdebat lebih dulu. Aku juga harus mengikuti keinginannya saat pria angkuh itu tiba-tiba melingkarkan jasnya di pinggangku untuk menutupi rok yang terlalu pendek, “Jangan dilepas sampai pulang atau batalkan makan malamnya!” ucapnya hingga aku mengalah dan mengakhiri perdebatan kami. Mengalahkan ego pria itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam sekejap. Sementara, jika aku meminta bantuan atau sejumlah uang dari seorang Taeyang Wisesa, aku harus mengiris nadiku dengan pisau terlebih dulu untuk membunuh harga diriku dan aku tidak akan melakukan kebodohan seperti itu.
Aku mengangguk. “Ya. Itu benar. Tetapi, saya tidak bisa melakukan itu,” ujarku jujur, “Sekarang saya tidak bisa bergantung pada siapa pun.”
Aku berusaha berkata apa adanya dan kuharap itu akan mempengaruhi pikiran pria yang sepertinya sangat menghargai kejujuran ini.
Aku melanjutkan, “Dulu, saya selalu bergantung kepada kedua orangtua saya. Saya terbiasa mendapatkan segalanya dengan mudah. Setelah keduanya tiada, saya sangat kesulitan. Saya pun mencari seseorang yang bisa saya andalkan menggantikan mereka, tapi saya tidak menemukannya. Karena itulah, sekarang saya harus melakukan sesuatu dengan usaha saya sendiri.” Aku tersenyum. “Saya akan memulainya dengan mengembangkan bisnis toko kecil kami di Myeong-dong. Saya yakin, saya pasti akan berhasil. Karena itu, berikanlah saya tambahan waktu. Saya pasti akan melunasi pinjaman itu.”
“Kamu sangat yakin akan berhasil?”
“Ya. Saya hanya perlu sedikit tambahan waktu.”
“Berapa lama waktu yang kamu perlukan?”
“Tiga bulan, paling cepat.”
“Baiklah.”
Itu mengejutkan. Tapi, itu sesuatu yang bagus. Aku tidak tahu kalau ini akan mudah.
Apakah pria ini benar-benar tertarik padaku seperti ucapan ibu tiriku? Jika itu memang benar, aku penasaran apa alasannya tertarik padaku, karena dia tidak seperti seorang pria yang akan tertarik pada seorang anak gadis yang lebih cocok menjadi putrinya.
“Terima kasih,” kataku dengan seulas senyuman tipis, sambil menyembunyikan rasa ingin tahu di dalam kepalaku. “Saya pasti akan membayar tepat waktu.”
Bos Han meneguk wine Prancis dari gelasnya. “Waktu?” ucapnya. “Kamu tahu, untuk bisa berhasil, bukan hanya waktu yang kamu perlukan. Untuk mengembangkan sebuah bisnis, kamu juga memerlukan modal usaha dan tenaga kerja yang andal.”
Aku mengangguk. Aku tahu.
“Kamu juga memerlukan mitra kerja yang mendukung.”
“Saya akan mendapatkan semuanya.”
“Kamu sudah mendapatkan semuanya.”
“?”
Bos Han tersenyum. “Katakan, bantuan apa yang kamu inginkan untuk usahamu itu?”
Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu.“Bantuan?”
“Jika kamu ingin membayarku tepat waktu, kamu harus mengembangkan bisnis toko kecil milikmu itu menjadi sangat besar.” Bos Han berkata dengan santai, “Katakan saja.”
Aku mengerti. Dia sedang menawarkan sesuatu padaku dan sesuatu seperti itu tidak akan diberikan dengan cuma-cuma. Aku tidak akan bersikap sombong dan menolaknya. Tetapi, aku juga tidak akan bersikap seperti anak kecil yang riang gembira menerimanya tanpa tahu apa yang ia inginkan sebenarnya.
“Ajeossi, ingin saya melakukan apa sebagai syarat untuk penawaran ini?” tanyaku hati-hati.
Senyumannya melebar. “Pantas saja Taeyang menyukaimu.”
“Eh?” Aku tidak mengerti.
“Gadis yang cerdas.”
Apa Taeyang menyukaiku karena aku cerdas? Aku tidak paham tentang ucapan ‘pantas saja’-nya itu. Aku penasaran, tapi menjawab rasa penasaranku sepertinya bukan hal penting sekarang.
Aku pun menegaskan beberapa hal yang lebih penting, “Saya tidak tahu apakah ini disebut cerdas, sebab sekarang saya sedang berada di posisi ‘tidak bisa membuang kesempatan sekecil apa pun’. Jadi, saya akan menerima penawaran ini serta syarat apa pun yang Ajeossi berikan. Tentu, selama syarat itu tidak bertentangan dengan hukum.”
“Tidak. Itu tidak bertentangan dengan hukum,” jawabnya, “Itu hanya sesuatu yang sangat mudah untuk kamu lakukan.”
‘Sangat mudah? Jika sangat mudah, kenapa dia tidak melakukannya sendiri? Kenapa harus memintaku melakukannya?’ Aku bertanya-tanya di dalam kepalaku. Aku memiliki semakin banyak pertanyaan untuknya sekarang, namun aku tetap saja tidak bisa menanyakan semuanya secara lugas. Kau tahu, terkadang ada beberapa pertanyaan yang sebaiknya tidak diucapkan meski kau sangat ingin mengetahui jawabannya.
Ia kembali menyunggingkan senyum, senyuman yang memiliki arti. “Karena itu, kita harus makan malam bersama lagi lain kali.”
“….”
***
Beberapa hal baik yang terjadi hari ini menciptakan pesta kecil di Haebaragi.
“Geonbae!” (Bersulang!). Ibu tiriku mengangkat gelas berisi soju tinggi-tinggi dan meneguknya sampai habis setelah membuat kami ikut mengangkat gelas juga. “Untuk kepulangan In-Ho dari rumah sakit. Untuk terbebasnya In-Su dari tuntutan hukum. Dan, untuk Hima kami tersayang yang sudah berhasil mengatasi masalah keuangan kita!”
Aku dan In-Su meneguk jus dari gelas kami, sementara Lee Ajeossi meneguk soju yang dituangkan ibu tiriku untuknya, dan In-Ho dengan malas meletakkan kembali gelas sojunya ke meja.
Malam ini, di meja makan kami terhidang banyak makanan lezat. Ibu tiriku memaksa Lee Ajeossi membantunya menyiapkan semua hidangan itu. Ia pun memutuskan agar menutup toko lebih awal, sebab ia ingin kami semua merayakan hal baik yang terjadi pada keluarga ini di hari ini.
“Eomma tahu, Hima pasti bisa melakukan itu,” ibu tiriku berkata dengan bangga, “Hima kami memang sangat luar biasa.”
“Ya. Saya percaya, Agassi pasti bisa kami andalkan,” Lee Ajeossi mengangguk. “Tapi, bagaimana dengan syarat itu? Bukankah terlalu mudah?” Ia menoleh ke arahku, “Ajeossi khawatir kalau Tuan Han Kang memiliki maksud lain padamu Agassi.”
Lee Ajeossi memang sangat mudah khawatir. Itu bisa dimengerti.
Berbeda sekali dengan ibu tiriku. “Ajeossi, tenanglah,” katanya, “Syaratnya hanya membagi keuntungan saja. Itu hal wajar dalam berbisnis. Bos Han pasti tidak ingin lima puluh juta won miliknya terancam tidak kembali. Karena itulah dia memberikan solusi mudah. Dia memang sangat baik, ‘kan?”
Park Mi-Hi, ibu tiriku ini, adalah orang yang paling hebat dalam menganggap segalanya baik-baik saja. Tidak mengherankan jika dia sangat bahagia mengetahui masalah utangnya teratasi hingga tidak mencurigai apa-apa.
“Tapi, Nyonya,” Lee Ajeossi berdehem. “Mengenai menemani Tuan Han makan malam lagi, itu agak ...”
“Bos Han hanya meminta Hima menemaninya makan malam lain kali, itu hal biasa,” ibu tiriku berkata, “Hanya makan malam saja. Apa yang harus dicurigai?”
“Itu sangat mencurigakan.” In-Su berkata sambil menjejali mulutnya dengan galbi menggunakan tangan kiri yang memegang sumpit, sementara tangan kanannya sibuk berkonsentrasi memanggang daging iga sapi itu di atas panggangan yang diletakkan di atas meja. “Jangan-jangan Bos Han itu jatuh hati pada Nuna.”
“Ck! Anak kecil satu ini!” Ibunya menjitak ringan kepala In-Su. “Memangnya kenapa kalau ada yang jatuh hati pada nuna-mu itu? Justru itu bagus, ‘kan? Lagipula, Bos Han itu pria lajang. Tidak ada salahnya kalau dia jatuh hati pada nuna-mu. Jangan berprasangka begitu, kamu seharusnya berterima kasih padanya, karena Bos Han sudah membantumu bebas dari tuntutan hukum!”
“Eomma, jangan pukul kepalaku. Ini untuk belajar.” In-Su mengusap-usap kepalanya. “Gara-gara Eomma, aku bisa jadi bodoh.”
Ibu dan putra bungsunya itu bersikap seperti biasanya. Tetapi, putra sulungnya tidak seperti biasa. Sejak tadi In-Ho diam saja, tidak bicara atau menyentuh makanan, wajahnya juga tidak tampak senang sedikit pun.
Tiba-tiba In-Ho berdiri dari tempatnya. Raut wajahnya terlihat kesal saat ia kemudian melangkah pergi dari ruang makan dengan terpincang-pincang—belum sembuh sepenuhnya akibat perkelahian tempo hari.
“Kenapa lagi anak itu?” ibunya berkata. “In-Ho ya, eodika?” (In-Ho, mau ke mana?).
In-Ho tidak menjawab dan terus berlalu.
In-Su menoleh ke arahku. Ia mengirimkan isyarat lewat raut wajahnya.
Tanpa ia mengatakan apa-apa, aku sudah mengerti. Raut wajahnya itu sudah cukup menjelaskan kalau ia ingin aku bicara pada hyeong-nya.
Aku akan menurutinya kali ini, sebagai balasan untuk bantuannya kemarin, saat dia menusuk seseorang hanya agar aku bisa melarikan diri. Aku beranjak berdiri. “Aku akan bicara dengannya,” ujarku. Lalu beranjak pergi, menyusul In-Ho.
Keluar dari ruang makan kami, aku menuruni tangga hingga menuju toko di lantai bawah. Aku berlari ke arah luar untuk mengejar In-Ho yang sudah melangkah keluar toko.
Untuk seseorang yang berjalan dengan terpincang-pincang, jalannya cepat sekali. “In-Ho ya!” panggilku.
In-Ho tidak peduli dan tidak menghentikan langkahnya sekejap pun.
“Hey, Park In-Ho! Ada apa ini? Kenapa bersikap seperti nggak senang begitu?” ujarku ketus. Sulit bicara dengan kalem pada orang seperti dia.
In-Ho akhirnya menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Ya, aku sama sekali nggak senang,” ujarnya. “Seharusnya kamu memanggilku dengan sopan. Oppa, In-Ho Oppa, seperti itu! Aku lebih tua lima tahun darimu.”
“Wah, jadi itu yang bikin nggak senang?” Hanya karena aku tidak memanggilnya dengan kata 'Oppa'?
“Bukan itu saja!”
“Ada lagi?”
“Ya. Karena kamu sudah benar-benar membuktikan kalau kami hanya lintah. Seperti yang selalu kamu katakan.”
Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti. Kenapa dia tiba-tiba berkata begitu? “Ah, apa ini? Bicara apa—”
“Kenapa kamu menjadikan kami seperti itu, hah?”
Aku sungguh tidak mengerti. “Hey, Park In-Ho, apa maksudmu? Ingin kupanggil Oppa? Akan kupanggil Oppa. Nggak perlu marah-marah nggak jelas!”
“Ah, bocah ini …”
“Bocah?!”
“Dengar,” ucapnya serius, “Aku minta maaf karena sikap ibu kami padamu,” nada suaranya tiba-tiba turun satu oktaf, “Dia seharusnya tidak menjadikanmu jaminan seperti itu.”
“Kenapa kamu harus minta maaf untuk ibumu?”
“Karena Eomma tidak akan meminta maaf.”
Aku mengangguk. “Kamu benar.”
“Maaf. Karena Eomma sudah menjadikan kamu sebagai sesuatu yang bisa dia gunakan untuk mendapatkan uang,” ujar In-Ho. “Di Jakarta, setelah bangkrutnya perusahaan dan sumber uangnya hilang, dia juga meminta kamu bekerja dan menemukan pria untuk dijadikan lahan uang yang baru. Dia …”
“Sudahlah,” kataku tak peduli, aku sungguh tidak ingin membahas hal itu. “Nggak perlu membahas itu lagi. Itu sudah berlalu ...”
“Itulah masalahnya!” bentak In-Ho.
“Ah, mengagetkan saja. Apa lagi masalahnya?”
Ia menunjuk ke arahku. “Kamu.”
“Apa? Kenapa aku yang jadi masalah? Bikin kesal saja!” Kesabaran bukan sesuatu yang kumiliki, tapi melupakan adalah keahlianku. Aku kesal padanya, tapi segera melupakan kekesalan itu, karena aku malas meladeni omelannya. “Kita bicara di rumah saja. Di sini dingin.” Aku berbalik ke arah Haebaragi.
“Berhentilah bersikap seperti itu!”
Aku berhenti dan menoleh. Nada suaranya seperti sedang mengajak berkelahi. “Seperti apa maksudmu?”
“Kamu sadar atau tidak, tapi kamu selalu saja mengikuti kata-kata Eomma,” In-Ho berkata. “Kamu membayari utang-utangnya di Jakarta, tanpa kami tahu. Kamu sudah menjadikan diri kamu sebagai tempat kami bergantung secara tidak langsung. Kamu pikir, kami adalah orang-orang jahat yang hanya bisa mengambil tanpa memberi, ‘kan? Padahal kamulah yang membuat kami jadi seperti itu.”
Aku tidak tahu kalau dia berpikir seperti itu selama ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menjadi orang yang bersalah dalam hal itu. Selama ini aku hanya mencoba melakukan hal baik pada mereka, tanpa alasan. Dan, hal baik itu kulakukan secara diam-diam, karena terlihat seperti gadis perhatian dan baik hati sama sekali tidak cocok dengan diriku.
“Kamu tahu,” ujar In-Ho, “Keluarga tidak seperti itu. Tidak seperti kamu memperlakukan kami.”
“Tidak seperti ibu kalian memperlakukanku juga ‘kan?” balasku.
Sejenak In-Ho terdiam, lalu berkata lagi, “Ibu kami. Ibu kandung In-Su dan aku, bukanlah Park Mi-Hi. Jadi, berhenti menuding ibuku!”
“Apa?”
“Park Mi-Hi, dia adalah bibi kami. Adik dari ayah kami.”
Ini sesuatu yang baru kuketahui. Kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal itu? Karena kalimatku selalu menuding ibunya?
“Park Mi-Hi adalah gadis dari keluarga kaya. Karena itu yang bisa dilakukannya hanyalah menghabiskan uang,” ujar In-Ho lagi. “Tapi, dia kemudian harus bertanggungjawab mengurusi dua orang anak, setelah keluarga kami mengalami musibah.”
“....”
“Sebuah kebakaran besar menghanguskan rumah dan mengambil nyawa orang-orang yang kami cintai. Menyusul pengambilalihan perusahaan karena penipuan paman kami sendiri.” In-Ho mengembuskan napas dengan raut wajah marah. “Semuanya berubah sejak itu.”
Mereka memiliki cerita seperti itu …
“Dari seorang imo, dia menjadi eomma. Park Mi-Hi membesarkan aku dan In-Su, sementara dia tidak memiliki keterampilan bekerja,” In-Ho melanjutkan, “Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah meminjam uang ke sana-sini kepada para kenalannya. Itu caranya memberi kami tempat tinggal yang layak, menyekolahkan kami dan memberi kami makan. Dan, untuk melunasi utang-utangnya, dia melakukan segala cara kecuali bekerja. Dia meminjam uang lagi di tempat berbeda, hingga menikahi seorang pengusaha kaya sebaik ayahmu. Sampai akhirnya dia hanya bisa menghabiskan uang milik ayahmu untuk digunakan membayar utang-utangnya yang tersisa.”
Tanganku terkepal mendengarnya menyebutkan tentang Papa. Ada rasa marah yang datang tiba-tiba.
Namun, mendadak In-Ho berlutut di depanku, membuat kepalan tanganku terbuka lagi.