“Eomma, apa Papa tahu cerita tentang keluargamu?”
“Papamu berteman baik dengan kedua orangtua In-Ho dan In-Su. Tentu saja, dia mengetahuinya,” Eomma menjawab. “Saat bertemu dengan kami beberapa tahun lalu, papamu menawarkan bantuan. Karena itulah papamu menikahi Eomma dan membawa kami ke Indonesia. Papamu itu adalah pria terbaik yang pernah Eomma kenal.”
Aku mengingat percakapanku dengan Park Mi-Hi malam itu, sambil menanggalkan piyamaku dan melemparkannya ke dalam keranjang yang berisi tumpukan pakaian kotor.
Pagi ini aku bangun sambil mengingat kedua orangtuaku. Mama yang mengajarkanku untuk tidak menjadi manja dan Papa yang mengajarkanku untuk selalu berbuat baik. Mengingat keduanya membuatku bertekad untuk bangun dan bekerja hari ini dengan tidak bersikap manja dan hanya akan melakukan sesuatu dengan tujuan yang baik.
Aku melangkah menuju kamar mandi hanya dengan pakaian dalam. Kugeser pintu kamar mandi, namun langkahku spontan terhenti karena kaget.
“Astaga!!” Aku nyaris jantungan karena tidak menduga akan melihat orang di dalam kamar mandiku. “Aissi, ngagetin!” Kupikir dia hantu.
In-Su sedang bersantai di atas kloset duduk, menatapku dengan cengiran lebar. “Hehe ... Nuna ...”
Aku menatap malas. “Hey, keluar sana!”
“Nuna ... tisu,” In-Su berkata. “Habis, nih.”
“Ah, anak ini ...” Selalu saja merepotkan.
Kuambil sekotak tisu dari meja rias dan kulemparkan ke arah In-Su. Kuambil juga handuk dan melilitkannya ke tubuhku.
Kemudian, saat bocah itu keluar kamar mandi. Segera kutarik telinganya agar dia bisa mendengar dengan lebih jelas.
“Akk! Nuna, sakit!”
“Ada toilet di bawah, kenapa pakai kamar mandi Nuna?” Kuseret dia keluar dari kamarku dengan menarik telinganya.
“Toilet lantai bawah dipakai,” ujarnya, pasrah mengikuti. “Aku udah gak tahan, makanya ... Nuna, sakit, nih. Nuna ...”
“Kenapa pagi-pagi sudah ribut?" Di luar kamarku, Eomma berkata pada kami sambil melangkah membawa makanan ke arah meja makan.
Di meja makan bekaki pendek itu sudah terhidang sarapan, masakan Lee Ajeossi yang dipanaskan oleh Eomma. Di sana juga tampak dua orang pria yang duduk di lantai menghadap ke arah meja, sedang menoleh ke arahku dengan tatapan lebar.
“Oppa, apa itu caramu melihat adikmu sendiri?” ucapku pada In-Ho, salah seorang dari pria di meja makan.
In-Ho mengerjap dan kembali berkonsentrasi pada sarapannya.
“Itu karena kamu—” Eomma berkata, “Ah, astaga! Pakai pakaianmu sana! Dan, lepaskan telinga adikmu. Dia memerlukannya untuk mendengarkan pelajaran di Sekolah.”
Kulepaskan jeweran telinga In-Su. “Lain kali, pakai kamar mandi di lantai bawah atau Nuna akan memangkas uang jajanmu.”
“Siap, Nuna!” In-Su patuh, lalu bergabung dengan In-Ho di meja makan.
“Dan, orang itu ...” Kuanggukkan kepala ke arah pria berjas rapi yang sedang duduk di samping In-Ho. “Mau apa si Tukang Selingkuh itu di sini pagi-pagi?”
In-Ho, In-Su dan Eomma kompak menoleh ke arah pria itu.
“Taeyang kami ... tukang selingkuh?” tanya Eomma.
“Taeyang kami?” Aku menatap tak percaya padanya. Taeyang kami, katanya? “Apaan itu?”
“Itu hanya salah paham, Eomeoni,” ujar pria itu dengan sangat sopan pada Eomma.
Eomma menghela dan tersenyum lega. “Ah, sudah pasti begitu.” Ia menoleh ke arahku. “Sudah sana, pakai pakaianmu! Jangan biarkan pacarmu menunggu.”
“Eomma! Seharusnya Eomma lebih percaya aku, ‘kan? Tapi, kenapa …”
“Masih di sini juga?” Eomma berkata sambil mendorongku ke arah kamarku, “Sana cepat pakai baju!”
Aku terdorong ke dalam kamarku. Kemudian pintu kamar ditutup oleh Eomma yang sebelum keluar kamar mengatakan bahwa Taeyang sangat tampan.
“Hah?” Aku sampai melongo dibuatnya.
Tapi—
“Kenapa dia di sini? Seharusnya aku sudah menang karena dia berselingkuh, kan?” aku bicara sendiri pada pintu yang tertutup di depan wajahku.
Dia seharusnya sudah kalah dan sesuai perjanjian dia tidak boleh mengganggu toko kami lagi.
“Wah, sepertinya dia benar-benar tidak ingin melepaskan Haebaragi dengan mudah.”
Haruskah aku menendangnya keluar rumah dan menjelaskan aturan permainan sekali lagi?
“Tapi, kalau kami putus hubungan karena aku sudah menang ...”
Teringat olehku satu syarat yang diberikan oleh Bos Han Kang tempo hari. Satu syarat yang harus kulakukan itu berhubungan dengan Taeyang Wisesa.
“Kalau sampai kami putus hubungan, aku mungkin akan kesulitan memenuhi syarat dari Han Ajeossi …”
Aku berjalan-jalan memutari kamarku, berpikir. Entah berapa kali aku memutari kamarku yang tidak besar itu hingga kemudian aku berhenti setelah memutuskan sesuatu.
***
‘Karena dia masih diperlukan, akan kulanjutkan permainan konyol ini. Aku akan menyelamatkan rumahku dengan segala cara, tidak peduli apa pun risikonya.’ Aku menuruni tangga menuju lantai satu, sambil memikirkan syarat dari Bos Han Kang. ‘Kenapa syarat itu harus berhubungan dengan Taeyang Wisesa?’
Aku menghentikan langkahku di anak tangga terbawah saat kulihat Taeyang sedang berdiri di depan Dinding Kenangan. Pria itu menatap ke arah foto-foto di dinding dengan sikap dan raut wajah serius. Sosoknya yang terlihat bersinar di bawah cahaya lampu, seperti karya seni buatan seniman pahat sesepuh.
Aku berdiri di tempat cukup lama seperti sedang terpesona oleh pemandangan indah. Apa? Aku mengernyap. Iya, dia memang memesona, tapi aku tidak boleh terpengaruh.
Dan, kulangkahkan kaki ke arahnya sambil mengembalikan pikiranku ke tempatnya.
“Melihat apa?” tanyaku sembari berdiri di sampingnya. Foto siapa yang dia lihat dengan begitu serius?
Taeyang menoleh dan tersenyum. “Foto-foto itu …”
Aku mengangguk. Tentu saja. Astaga, maksudku ‘kan bukan itu.
Taeyang beranjak menuju ke arah rak-rak yang dijejeri barang-barang pahatan. “Bisa kamu tunjukkan padaku barang terbaik dari toko ini?”
“Semua barang di toko ini adalah barang dengan kualitas terbaik,” jawabku. “Jadi, tergantung untuk keperluan apa itu.”
“Untuk hadiah,” Taeyang berkata sambil melihat-lihat beberapa patung kayu yang berada di depannya.
“Hadiah, itu tergantung siapa yang akan menerimanya. Katakan padaku untuk siapa hadiah itu. Aku akan memilihkan barang yang paling cocok untuk kamu berikan padanya.”
“Seorang wanita,” Taeyang berkata tanpa menoleh.
Aku menaikkan alis. “Wanita seperti apa?”
“Wanita yang cerdas, sulit dibantah, elegan, punya banyak uang dan memiliki standar yang tinggi dalam segala hal,” jawab Taeyang sambil mengangkat sebuah karya seni kirie yang rumit di dalam bingkai kaca, memperlihatkan gambar seorang wanita mengenakan mahkota dan gaun yang menyatu dengan serpihan-serpihan salju, terbuat dari serutan kayu tipis yang diukir dengan pisau kerajinan.
“Wah …” Dia mendekati wanita yang seperti itu juga?
“Sulit memberikan hadiah yang tepat untuknya. Karena dia terlalu pandai melihat sesuatu.” Taeyang meletakkan kembali karya seni kirie itu ke atas rak dan menoleh ke arahku.
“Kalau begitu …” Aku melihat ke sekeliling, kemudian melangkah ke salah satu rak yang berada di sudut ruangan, mengambil sesuatu dari sana dan kembali ke arah Taeyang. Kuserahkan padanya benda itu dengan kedua tangan. “Ini adalah barang yang cocok.”
“Sisir?” Taeyang mengerutkan dahi.
“Ya.” Aku memegang sisir kayu berbentuk bergelombang dan dihiasi lukisan kucing putih yang cantik. “Kami bekerja sama dengan perajin asal Jepang untuk membuat ini. Kamu lihat, sisir ini tidak sama seperti sisir lainnya. Bentuknya melengkung sesuai bentuk kepala. Jadi, akan terasa nyaman dan halus saat dipakai.”
“Ini hanya sisir.”
“Ini adalah sisir yang akan bertahan seumur hidupmu,” aku menjelaskan layaknya seorang penjual. “Sisir ini dibuat dari kayu paling kuat di dunia, kayu quebracho atau kayu penghancur kapak. Sisir yang digunakan untuk menjaga penampilannya dan tidak akan rusak seumur hidup, wanita pemilih seperti itu pasti menyukai hal-hal bertahan lama dan punya nilai seni seperti ini.”
“Itu terdengar unik.”
“Benar sekali. Dengan memberikan ini, kamu bisa mengungkapkan rasa cinta yang bertahan lama atau harapan umur panjang untuknya.”
“Bungkuslah dengan cantik.”
“Kalau begitu …” Aku kembali melihat ke sekeliling, mencari sesuatu yang tepat sebagai pembungkus. “Gunakan kotak kaca itu. Dibuat oleh seniman lukis kaca dari Indonesia.”
Dari sebuah rak, aku mengambil kotak kaca yang cocok sebagai tempat untuk sisir itu. Sebuah kotak kaca yang terlihat cantik dengan lukisan bunga teratai di bagian tutupnya.
“Cantik sekali bukan?” Kuletakkan sisir itu di dalam kotak kaca itu dan memperlihatkannya kepada Taeyang.
Taeyang mengangguk seraya memberikan kartu kredit eksklusif, black card, miliknya.
***
Cahaya matahari musim dingin menembus kaca jendela mobil. Itu seharusnya tidak menyilaukan.
Aku bersandar di kursi depan sambil menoleh ke arah jalan, melihat kendaraan yang sibuk berlalu-lalang dan pohon-pohon yang telah kehilangan daunnya. Pria yang sedang menyetir di sebelahku seperti menyerap sinar matahari, sikapnya terlalu hangat dan senyumannya terlalu bercahaya. Aku tidak bisa melihat berlama-lama ke arahnya dari jarak dekat tanpa berdebar. Dia menyilaukan.
“Taeyang ssi, apa yang akan kamu lakukan pada Haebaragi jika kamu berhasil memilikinya?” Aku bertanya karena penasaran.
“Kamu ingin tahu?”
“Sepertinya aku berhak tahu.”
Sambil berkonsentrasi melihat jalanan di depan, Taeyang memberi isyarat dengan satu tangan agar aku mendekat.
Aku mengerutkan dahi dan bergeser lebih dekat.
Taeyang mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik. “Aku … tidak bisa mengatakannya.”
“Apa?!” Aku menjauh secara spontan, merasa dipermainkan.
Taeyang tersenyum. “Itu masih dalam tahap perencanaan,” ujarnya, “Lagipula, aku tidak membicarakan urusan perusahaan pada orang luar.” Ia menoleh sejenak. “Kenapa? Apa kamu ingin menjual informasi itu ke perusahaan saingan kami dengan harga mahal?”
“Apa aku terlihat seperti mata-mata?”
“Kamu terlihat seperti orang yang mampu melakukan segalanya untuk uang.”
“Semua orang terlihat seperti itu. Bukan hanya aku.”
“Itulah yang kumaksud.”
“Ya, sudah, kalau tidak mau bilang. Kenapa menuduhku?” Aku melipat tangan di depan dada, kembali menoleh ke jalanan dengan wajah cemberut.
“Aku tidak menuduh. Aku waspada.”
“Terserah.” Aku mengubah topik pembicaraan segera, “Omong-omong, seharusnya aku sekarang pergi menemani Lee Ajeossi bertemu para karyawan dan melihat lokasi pabrik baru kami. Aku harus bekerja untuk membayar utang.”
“Aku tahu.”
“Kalau sudah tahu kenapa masih membawaku pergi?”
“Karena aku harus.”
“Harus ke mana?”
“Pyeongchang-dong.”
“Ngapain ke sana?”
“Bertemu Halmeoni.”
“Eeh?” Aku memalingkan tatapan dari arah jalan kepadanya. “Bertemu ... siapa?”
“Nenekku,” jawab Taeyang. “Ibu dari ayahku.”
“Kenapa harus membawaku bertemu halmeoni-mu?”
“Halmeoni mencoba mengatur perjodohanku lagi. Jadi, saat kubilang kalau aku sudah punya pacar, Halmeoni mau aku memperkenalkan pacarku padanya,” jawabnya santai. “Karena itulah, aku harus membawamu menemuinya.”
“Tapi, kita ‘kan bukan pacar sungguhan?”
“Siapa yang bilang bukan?”
“Itu ...”
“Tidak ada di dalam peraturan permainan kalau kita ini pura-pura. Ya, ‘kan?”
“Aaa ...” Jika dipikirkan lagi. Iya juga, sih. “Tapi, bagaimana bisa aku bertemu nenekmu dengan pakaian seperti ini?” Aku memperlihatkan mantel dan sweaterku yang santai dan biasa-biasa saja. “Kalau bilang dari tadi mau bertemu nenekmu, aku nggak akan pakai baju seperti ini.”
“Nenekku tidak peduli dengan penampilan,” Taeyang berkata. “Halmeoni bukan orang yang akan melihat seseorang dari penampilan luar.”
“Begitu, ya?” Aku tidak percaya itu, tapi aku merasa agak lega mendengarnya.
“Kamu boleh pakai pakaian apa saja saat bertemu dengannya,” lanjut Taeyang. “Bahkan, kalau kamu mau memakai handuk seperti tadi pagi juga tidak masalah.” Ia menoleh sekilas dan mengedipkan sebelah matanya.
Aku melotot. “Sudah gila apa?”
Senyuman iseng tampak di wajahnya. “Kamu sering begitu?” tanyanya. “Boleh aku melihatmu seperti itu lagi?”
“Playboy Kurang Ajar!” hardikku. “Hapus itu dari otakmu!”
Ia menoleh sejenak dengan alis terangkat, lalu tawanya beredar. Puas sekali sepertinya bisa membuatku terganggu.
“Waaah. Kalau sedang marah kamu sangat menggemaskan, ya?”
‘Meng-gemas-kan?’ Aku tidak mengerti isi kepala orang ini. “Itu adalah kalimat paling basi yang sudah sering kudengar. Para laki-laki yang pernah kukenal mengatakan hal seperti itu untuk menutupi betapa mereka sangat putus asa karena tidak bisa menghadapi gadis yang sedang marah.” Aku menatap tak terkesan. “Tuan Presdir, carilah perbendaharaan kata yang baru.”
Taeyang menggeleng. “Aku tidak sedang putus asa, aku sedang serius,” ujarnya. “Saat kamu marah, kamu terlihat menggemaskan sampai membuatku ingin sekali memelukmu.”
Aku segera bergeser menjauh. “Jangan berani macam-macam lagi seperti waktu di hotel, atau aku akan menggunakan kekuatan media sosial dan membuat seluruh dunia menghancurkan nama baikmu yang sangat bersih itu.”
“Ancamannya boleh juga.” Ia tersenyum tenang. “Tapi, apa akan ada yang percaya pada gosip media sosialmu itu?”
“Apa?” Dia pikir aku ini tukang gosip?
“Kamu tahu, kenapa selama ini namaku bersih tanpa skandal? Juga kenapa wajahku tidak pernah diekspos di media mana pun?”
“Karena kamu berulah dengan menggunakan nama sekretarismu itu,” jawabku.
“Tentu saja bukan hanya itu.” Ia masih tersenyum.
Senyuman yang menyebalkan, sungguh. Seperti sedang mengatakan betapa seseorang telah salah tebak dan begitu bodoh, dan orang bodoh itu adalah seseorang yang sedang duduk tepat di sebelahnya.
“Bukan … hanya itu?” Kenapa aku jadi gugup?
“Itu karena keluarga kami memiliki hubungan yang sangat baik dengan media Korea dan para wartawan,” ia berkata dengan sikapnya yang selalu tampak sombong itu. Sepertinya ia bangga sekali dengan kekuasaan yang dimilikinya. “Kami memiliki tim khusus untuk menangani segala macam gosip tidak sedap yang beredar di luar sana, terkhusus di media sosial. Jadi, jangan melakukan sesuatu yang akan sia-sia saja. Kamu mengerti?”
Ah, aku benci orang yang punya uang banyak seperti dia. “Ne, algetsseumnida ...” (Iya, saya mengerti …) kataku dengan sikap sopan dan senyuman dingin. “Aiss ...”
“Apa?” ia berkata saat mendengarku akan mengumpat padanya.
“Animnida.” (Tidak ada apa-apa) aku menjawab, mengubah umpatan menjadi kalimat sopan.
Aku harus mengakhiri permainan ini secepatnya dengan kemenangan di pihakku. Aku tidak tahan berada di samping orang yang memamerkan kekuasaan dan uang seperti ini.
Kutatap pria yang sedang menyetir di sebelahku. ‘Lihat saja nanti, siapa yang sebenarnya sedang melakukan sesuatu yang sia-sia,’ aku berkata dalam hati.
Jika aku tidak bisa membuatnya menyatakan cinta padaku, akan kubuat dia kalah karena kesalahannya sendiri.
***